Oleh: La Kapadika, S.P
(Masyarakat Pemerhati Demokrasi Muna Raya)
Seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), fenomena calon tunggal dan pilihan kotak kosong kembali menjadi sorotan. Bagi sebagian pihak, kotak kosong dianggap sebagai solusi alternatif dalam demokrasi, memberikan ruang bagi masyarakat yang tidak puas dengan calon tunggal untuk mengekspresikan protes mereka secara damai. Namun, tidak sedikit pula yang memperingatkan bahwa isu kotak kosong kerap kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melemahkan proses demokrasi yang sehat dan adil.
Kotak Kosong sebagai Simbol Demokrasi
Secara teori, kotak kosong merupakan salah satu instrumen demokrasi yang diakui secara konstitusional. Dalam situasi di mana hanya ada satu pasangan calon yang bertarung, kotak kosong memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menyatakan bahwa mereka tidak setuju dengan pilihan tersebut. Ini adalah bentuk kontrol publik terhadap proses politik, mencegah calon tunggal terpilih secara otomatis tanpa adanya partisipasi penuh dari masyarakat.
Dalam beberapa kasus, pilihan kotak kosong dapat menjadi simbol ketidakpuasan publik terhadap minimnya opsi calon yang dianggap layak atau representatif. Jika kotak kosong menang, Pilkada harus diulang pada tahun 2025, sebagaimana hal ini telah disepakati oleh Komisi II DPR, KPU dan pemerintah.
Kesepakatan ini diputuskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II, KPU, Bawaslu dan Kemendagri di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta yang digelar sejak Selasa (10/9/2924) sore sampai Rabu (11/9/2024) dinihari lalu.
“Daerah yang pelaksanaan Pilkadanya hanya terdiri dari 1 (satu) pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen, secara bersama menyetujui Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang No. 10 Tahun 2016,” bunyi salah satu poin kesimpulan rapat.
Komisi II bersama KPU, Bawaslu, Kemendagri dan DKPP akan membahas lebih lanjut terkait hal ini pada rapat bersama pada 27 September mendatang.
KPU mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024. Daerah itu terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota. Para calon tunggal itu akan berhadapan dengan kotak kosong.
Hal ini tentu memberikan kesempatan bagi munculnya calon-calon baru yang lebih kompetitif. Dengan demikian, bagi sebagian pihak, kotak kosong adalah manifestasi dari demokrasi partisipatif, memberikan pemilih hak untuk memilih atau menolak calon yang tersedia.
Manipulasi Kotak Kosong: Pembegalan Demokrasi?
Namun, di balik narasi kotak kosong sebagai solusi demokrasi, muncul kekhawatiran akan penyalahgunaannya oleh pihak-pihak tertentu. Beberapa pengamat politik menyoroti bahwa kotak kosong dapat menjadi alat manipulasi dalam apa yang disebut sebagai “pembegalan demokrasi.” Istilah ini merujuk pada upaya-upaya terstruktur yang bertujuan untuk mengarahkan pemilih agar memilih kotak kosong bukan sebagai bentuk protes atas calon tunggal, melainkan demi keuntungan kelompok atau kepentingan politik tertentu.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat sering kali dipengaruhi dengan narasi yang dimaksudkan untuk melemahkan legitimasi calon tunggal, meskipun calon tersebut telah melalui proses politik yang sah. Beberapa pihak yang berkepentingan bisa saja menggunakan kampanye hitam, intimidasi, atau berita bohong untuk membentuk opini bahwa kotak kosong adalah pilihan yang paling bijak, padahal tujuannya adalah untuk mencegah calon tunggal memenangkan Pilkada.
Masyarakat Harus Cerdas dalam Memilih
Di tengah situasi ini, sangat penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan cerdas dalam menentukan pilihan. Jangan sampai kotak kosong justru menjadi jebakan yang merugikan kepentingan publik dalam jangka panjang. Sebagai pemilih, kita harus memastikan bahwa keputusan untuk memilih kotak kosong bukan berdasarkan tekanan atau pengaruh dari pihak-pihak yang ingin merusak demokrasi.
Sistem demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, di mana setiap suara dihitung berdasarkan penilaian yang objektif terhadap visi, misi, dan rekam jejak calon yang bersaing. Jangan terjebak dalam permainan politik yang berpotensi melemahkan legitimasi proses pemilihan dan stabilitas pemerintahan daerah.
Kesimpulan: Demokrasi untuk Semua
Kotak kosong, meskipun sah dalam konteks demokrasi, tidak boleh disalahgunakan sebagai alat untuk membajak proses demokrasi itu sendiri. Di satu sisi, kotak kosong memberikan alternatif bagi pemilih untuk menolak calon tunggal yang dianggap kurang representatif, tetapi di sisi lain, manipulasi kotak kosong untuk kepentingan politik tertentu dapat merusak integritas pemilu.
Masyarakat diharapkan terus waspada terhadap upaya-upaya yang mencoba memanfaatkan kotak kosong sebagai bagian dari strategi politik tersembunyi. Pilkada harus tetap menjadi ajang demokrasi yang bersih, di mana pemilih memilih berdasarkan kualitas dan visi calon, bukan terjebak dalam taktik politik jangka pendek.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pilihan yang rasional, partisipasi yang aktif, dan kejujuran dalam prosesnya. Pada akhirnya, apapun hasilnya, pemilihlah yang memegang kunci bagi masa depan daerah yang lebih baik.