Cahaya di Balik Relief
Irvon menatap dinding gua dengan kagum. Relief yang terukir di batu menceritakan kisah nenek moyang Desa Liangkobori, sebuah warisan yang nyaris terlupakan. Dengan kamera tergantung di lehernya dan catatan kecil di tangannya, ia mencatat setiap detail. Setiap garis yang diukir berabad-abad lalu seolah berbicara kepadanya.
“Kau yakin ini berasal dari manusia purba?” tanya Amran, sahabatnya yang juga seorang fotografer lepas.
“Tak ada keraguan lagi,” jawab Irvon sambil mengusap debu dari permukaan batu. “Lihat pola ini, tampak seperti orang yang sedang menarik sesuatu ke udara. Bisa jadi ini bukti bahwa Kaghati Kolope sudah ada sejak zaman prasejarah.”
Sebagai seorang jurnalis, Irvon merasa memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar menulis berita. Ia ingin dunia tahu bahwa di tempat terpencil ini, tersimpan kisah manusia purba yang masih hidup dalam budaya dan tradisi. Namun, misinya tidak mudah. Banyak yang meremehkan upayanya, menganggap bahwa tidak ada yang akan peduli pada sejarah yang tertinggal di dinding-dinding gua.
Layang-layang di Langit Leluhur
Salah satu kebanggaan terbesar Desa Liangkobori adalah Kaghati Kolope, layang-layang purba yang telah dimainkan turun-temurun. Dibuat dari daun kolope dan serat alami, layang-layang ini bukan sekadar permainan—ia adalah bagian dari identitas leluhur mereka. Irvon terpesona melihat para tetua desa dengan cekatan merangkai bahan-bahan sederhana menjadi karya seni yang bisa menari di langit.
“Dulu, nenek moyang kami menerbangkan ini untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur,” ujar La Wengi, salah satu pengrajin Kaghati Kolope tertua di desa. “Sekarang, kami melakukannya agar anak-anak kami tidak melupakan siapa mereka.”
“Tapi apakah anak-anak muda masih mau meneruskan tradisi ini, La Wengi?” tanya Irvon.
La Wengi menghela napas. “Semakin sedikit yang peduli, Nak. Mereka lebih suka ponsel daripada bermain di alam. Jika tak ada yang melestarikan, mungkin layang-layang ini hanya tinggal kenangan dalam relief gua itu.”
Mendengar itu, Irvon semakin bersemangat. Ia menulis artikel panjang tentang tradisi ini, berharap bisa membawa perhatian dunia ke Desa Liangkobori. Namun, tak semua orang mendukung perjuangannya. Beberapa orang mulai menganggapnya sebagai pengganggu, takut bahwa kedatangan wisatawan justru akan merusak budaya mereka.
Ancaman di Balik Berita
Saat artikel-artikelnya mulai menarik perhatian, masalah pun muncul. Investor dari luar ingin menjadikan area sekitar gua sebagai objek wisata eksklusif, yang berarti masyarakat desa bisa kehilangan akses ke situs leluhur mereka.
“Irvon, berhentilah menulis tentang desa ini. Kau hanya akan membawa masalah,” peringatan itu datang dari seseorang yang tidak ia duga. Bahkan beberapa warga mulai meragukan niatnya, takut perubahan yang datang justru akan merusak keseimbangan mereka.
“Aku hanya ingin membantu,” jawab Irvon tegas. “Bukankah kita seharusnya melindungi warisan kita?”
“Warisan tak akan memberi makan perut kami,” kata seorang pria tua dengan nada sarkastik. “Yang kami butuhkan adalah uang, bukan cerita lama.”
Namun, Irvon tidak mundur. Dengan bantuan teman-temannya, ia menggalang dukungan dari akademisi, sejarawan, dan pecinta budaya untuk melindungi Desa Liangkobori. Ia tahu bahwa warisan ini terlalu berharga untuk dibiarkan hilang begitu saja.
Di tengah perjuangannya, Irvon menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah ukiran tersembunyi di bagian terdalam gua. Ukiran itu menggambarkan sekelompok manusia purba yang mengikat sesuatu di udara, sangat mirip dengan Kaghati Kolope. Jika ia bisa membuktikan bahwa layang-layang ini benar-benar peninggalan kuno, maka ia memiliki senjata kuat untuk mempertahankan desa.
Harapan di Langit Senja
Di tengah tantangan yang menghadang, festival layang-layang akhirnya digelar. Puluhan Kaghati Kolope menghiasi langit senja, membawa doa dan harapan masyarakat Desa Liangkobori. Irvon berdiri di tengah lapangan, menyaksikan bagaimana anak-anak dan orang tua bersuka ria menerbangkan layang-layang warisan nenek moyang mereka.
“Aku tak pernah melihat langit seindah ini,” gumam Amran sambil mengabadikan momen dengan kameranya.
“Bukan langitnya yang berubah, tapi bagaimana kita melihatnya,” jawab Irvon dengan senyum puas. “Hari ini, kita telah menjaga sesuatu yang berharga.”
Namun, ancaman belum berakhir. Seorang pengusaha lokal yang bekerja sama dengan investor mencoba mempengaruhi kepala desa untuk menjual sebagian lahan gua. Irvon tahu ia harus bertindak cepat. Dengan bukti ukiran yang ia temukan, ia menghubungi arkeolog dan sejarawan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Beberapa minggu kemudian, hasil penelitian diumumkan—ukiran di gua Liangkobori ternyata berusia ribuan tahun dan memang menggambarkan layang-layang. Berita ini menjadi viral, membuat pemerintah turun tangan untuk melindungi situs tersebut sebagai warisan budaya nasional.
Di antara kerumunan festival, Irvon tersenyum lega. Ia tahu perjuangannya belum selesai, tetapi setidaknya, dunia kini tahu bahwa di sudut kecil bumi ini, ada sejarah yang harus dijaga.
Dan dengan pena dan kameranya, ia berjanji akan terus menulis, karena jurnalis sejati tidak hanya memberitakan fakta, tetapi juga menjaga warisan dan kebenaran yang nyaris dilupakan.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa