Ojol Juga Bisa Patah Hati: Kisah Cinta di Warkop Karmen

- Jurnalis

Kamis, 24 April 2025 - 17:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

FNEWS.ID – Pagi itu, langit Surabaya belum benar-benar biru. Sisa embun masih menempel di kaca-kaca toko yang berjajar di sekitar kawasan Karmen. Seperti biasa, saya tiba lebih awal di Warkop Mas Imam—tempat yang sudah seperti ruang tamu kedua bagi saya. Di sudut yang sama, dengan kursi panjang yang sudah menghafal bentuk punggung saya, saya menyendok sego sadukan sambil menyeruput kopi panas dan menyalakan sebatang ipok.

Hening pagi dipecahkan oleh suara serak tape recorder warkop yang tiba-tiba menyala—bukan oleh Mas Imam, tapi seorang ojol yang baru saja datang. Jas hujan masih menggantung di stang motornya, helm terjepit di siku, dan wajahnya… ah, wajah itu tak bisa menipu: dia sedang jatuh cinta, atau lebih tepatnya, baru saja jatuh dari cinta.

Lagu “Cinta Tak Bersyarat” dari Elemen mengalun. Suaranya mengikuti, pelan tapi penuh perasaan. Seisi warkop, yang biasanya hanya diisi bunyi sendok dan desah napas santai para pelanggan, mendadak berubah jadi panggung romansa yang muram tapi hangat.

Saya tersenyum.
“Terusno, Mas Bro,” sapa saya padanya, “biar hatimu lega dulu. Baru nanti lanjut cari orderan.”

Dia nyengir, tapi sorot matanya menerawang—jauh, seolah sedang duduk di warkop lain bersama seseorang yang kini hanya tinggal kenangan.

“Dia milih yang lebih pasti,” katanya pelan. “Kerja kantoran, gaji tetap, gak panas-panasan di jalan…”

Saya menepuk pundaknya.
“Ya jelas lah, Mas. Tapi ojo lali, yang mapan belum tentu setia. Dan yang naik motor gak selalu gagal.”

Baca Juga:  Memaksa Benar

Tawa kecil pecah dari penjuru warkop. Hangat, seperti kopi yang belum sempat habis.

Katanya, lagu itu sering mereka dengarkan bersama. Dulu. Di warkop juga, tapi beda tempat. Masih di Surabaya, tapi kenangannya sudah hanyut entah di mana.

“Masih sering ke tempat itu?” tanya saya.

Dia menggeleng. “Ngapain? Nanti saya duduk sendiri, kopi sendiri, nyanyi sendiri.”

Baca Juga:  Mencoba Menemukan Diri Kembali dengan Menulis Sore Ini

Saya tertawa kecil. “Lha ini juga sendiri toh?”

Dia ikut tertawa.
“Beda, Mas. Di sini saya ditertawakan. Di sana… saya ditinggalkan.”

Tape recorder terus berputar. Lagu-lagu cinta dari Padi dan Dewa mengisi pagi yang tak biasa. Ada yang patah hati, ada yang pura-pura bijak. Tapi semuanya manusia.

Sebelum ia pamit, saya berkata,
“Wis, Mas Bro. Ndang golek orderan. Kopimu tak bayari. Tapi utangnya jangan nambah-nambah, ya!”

Ia tersenyum lebar, kali ini tanpa bayangan sedih.
“Matur suwun, Mas. Mugo-mugo rejekine lancar… dan hatine segera waras.”

Pagi itu, saya belajar satu hal lagi: bahkan di tengah hiruk-pikuk kota, di antara orderan dan kemacetan, hati tetap bisa patah. Tapi seperti motor yang mogok, selalu ada cara buat nyalain lagi.

Ojol juga manusia. Kadung wuyung, susah obate.

 

Penulis : Mister AAS

Follow WhatsApp Channel fnews.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Mencoba Menemukan Diri Kembali dengan Menulis Sore Ini
Jurnalis Itu dari Negeri Layang-Layang Purba
Harga Diri di Ujung Pertarungan
Killer Paradoks
Memaksa Benar
Pembela di Balik Bayang: Perjuangan Pengacara di Dunia Kawin Kontrak
Di Meja Harapan, Perjuangan, dan Syukur
Ada Hilal?
Berita ini 16 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 24 April 2025 - 17:55 WIB

Ojol Juga Bisa Patah Hati: Kisah Cinta di Warkop Karmen

Rabu, 23 April 2025 - 17:09 WIB

Mencoba Menemukan Diri Kembali dengan Menulis Sore Ini

Jumat, 4 April 2025 - 16:14 WIB

Jurnalis Itu dari Negeri Layang-Layang Purba

Rabu, 5 Februari 2025 - 22:15 WIB

Harga Diri di Ujung Pertarungan

Sabtu, 21 Desember 2024 - 21:13 WIB

Killer Paradoks

Berita Terbaru