FNEWS.ID – Pagi itu, langit Surabaya belum benar-benar biru. Sisa embun masih menempel di kaca-kaca toko yang berjajar di sekitar kawasan Karmen. Seperti biasa, saya tiba lebih awal di Warkop Mas Imam—tempat yang sudah seperti ruang tamu kedua bagi saya. Di sudut yang sama, dengan kursi panjang yang sudah menghafal bentuk punggung saya, saya menyendok sego sadukan sambil menyeruput kopi panas dan menyalakan sebatang ipok.
Hening pagi dipecahkan oleh suara serak tape recorder warkop yang tiba-tiba menyala—bukan oleh Mas Imam, tapi seorang ojol yang baru saja datang. Jas hujan masih menggantung di stang motornya, helm terjepit di siku, dan wajahnya… ah, wajah itu tak bisa menipu: dia sedang jatuh cinta, atau lebih tepatnya, baru saja jatuh dari cinta.
Lagu “Cinta Tak Bersyarat” dari Elemen mengalun. Suaranya mengikuti, pelan tapi penuh perasaan. Seisi warkop, yang biasanya hanya diisi bunyi sendok dan desah napas santai para pelanggan, mendadak berubah jadi panggung romansa yang muram tapi hangat.
Saya tersenyum.
“Terusno, Mas Bro,” sapa saya padanya, “biar hatimu lega dulu. Baru nanti lanjut cari orderan.”
Dia nyengir, tapi sorot matanya menerawang—jauh, seolah sedang duduk di warkop lain bersama seseorang yang kini hanya tinggal kenangan.
“Dia milih yang lebih pasti,” katanya pelan. “Kerja kantoran, gaji tetap, gak panas-panasan di jalan…”
Saya menepuk pundaknya.
“Ya jelas lah, Mas. Tapi ojo lali, yang mapan belum tentu setia. Dan yang naik motor gak selalu gagal.”
Tawa kecil pecah dari penjuru warkop. Hangat, seperti kopi yang belum sempat habis.
Katanya, lagu itu sering mereka dengarkan bersama. Dulu. Di warkop juga, tapi beda tempat. Masih di Surabaya, tapi kenangannya sudah hanyut entah di mana.
“Masih sering ke tempat itu?” tanya saya.
Dia menggeleng. “Ngapain? Nanti saya duduk sendiri, kopi sendiri, nyanyi sendiri.”
Saya tertawa kecil. “Lha ini juga sendiri toh?”
Dia ikut tertawa.
“Beda, Mas. Di sini saya ditertawakan. Di sana… saya ditinggalkan.”
Tape recorder terus berputar. Lagu-lagu cinta dari Padi dan Dewa mengisi pagi yang tak biasa. Ada yang patah hati, ada yang pura-pura bijak. Tapi semuanya manusia.
Sebelum ia pamit, saya berkata,
“Wis, Mas Bro. Ndang golek orderan. Kopimu tak bayari. Tapi utangnya jangan nambah-nambah, ya!”
Ia tersenyum lebar, kali ini tanpa bayangan sedih.
“Matur suwun, Mas. Mugo-mugo rejekine lancar… dan hatine segera waras.”
Pagi itu, saya belajar satu hal lagi: bahkan di tengah hiruk-pikuk kota, di antara orderan dan kemacetan, hati tetap bisa patah. Tapi seperti motor yang mogok, selalu ada cara buat nyalain lagi.
Ojol juga manusia. Kadung wuyung, susah obate.
Penulis : Mister AAS