Di tengah keheningan sore, Rina berkata lirih pada dirinya sendiri, “Mereka berhasil… Mereka berhasil menggapai mimpi-mimpi mereka.” Ia tersenyum dalam tangisnya. Meski usianya telah menua dan tubuhnya mulai melemah, hatinya penuh dengan kebanggaan dan cinta.
Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi perbukitan dan sungai yang mengalir jernih, berdiri sebuah sekolah dasar yang jauh dari kemewahan. Sekolah itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang bocor di beberapa tempat. Namun, bagi Rina, guru muda yang penuh semangat, tempat ini adalah ladang perjuangan. Di desa ini, ia mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak yang sebagian besar datang dari keluarga petani miskin.
Dari semua muridnya, ada tiga anak yang selalu menarik perhatian Rina, mereka adalah Budi, Siti, dan Andi. Ketiganya datang dari keluarga yang sangat kekurangan, bahkan untuk membeli seragam sekolah pun mereka harus menunggu bantuan dari desa. Setiap pagi, Budi berjalan jauh melewati hutan untuk sampai ke sekolah. Siti, anak perempuan yang pemalu namun cerdas, selalu datang dengan membawa buku lusuh yang diwarisi dari kakaknya. Dan Andi, anak laki-laki yang periang, selalu hadir dengan senyum meski perutnya sering kosong karena tak ada yang bisa dimakan di rumah.
Mereka bertiga selalu duduk di barisan depan kelas, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Rina dengan penuh perhatian. Suatu hari, setelah jam pelajaran berakhir, ketiganya menghampiri Rina yang sedang duduk di teras sekolah. Di sana, di bawah pohon besar yang menaungi halaman sekolah, mereka berbagi impian mereka.
“Budi, kamu ingin jadi apa nanti?” tanya Rina, tersenyum hangat.
Budi menunduk sejenak, lalu dengan suara pelan tapi mantap ia berkata, “Saya ingin jadi polisi, Bu. Saya ingin menjaga keamanan desa ini.”
Rina tersenyum dan mengangguk. “Bagus sekali, Budi. Kamu pasti bisa.”
Kemudian ia menoleh ke Siti. “Kalau kamu, Siti?”
Siti menggenggam erat buku di pangkuannya. “Saya ingin bekerja di bank, Bu Rina. Biar bisa bantu orang tua saya dan supaya keluarga saya tidak miskin lagi.”
Rina menepuk lembut bahunya, memberikan dorongan semangat. “Impian yang indah, Siti. Kamu anak yang pintar, kamu pasti bisa mencapainya.”
Andi, yang dari tadi diam, tiba-tiba berkata dengan suara lantang, “Saya mau jadi anggota DPRD, Bu. Biar saya bisa membuat desa ini lebih baik, biar tidak ada yang seperti kami lagi, yang harus sekolah sambil lapar.”
Rina tertegun. Anak-anak ini, meski hidup dalam kemiskinan, punya mimpi-mimpi yang begitu besar. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia berjanji kepada mereka, “Bu Rina akan berjuang untuk kalian. Kalian harus berjanji pada diri sendiri, tidak boleh menyerah. Selama aku bisa, aku akan membantu kalian mencapai mimpi kalian.”
Sejak hari itu, perjuangan dimulai. Rina tak hanya menjadi guru, tetapi juga pelindung dan penuntun bagi mereka. Ia rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk memberikan pelajaran tambahan setelah sekolah, sering kali di bawah cahaya redup lampu minyak di rumah mereka masing-masing. Ketika orang tua mereka tak mampu membayar biaya sekolah, Rina dengan diam-diam menyisihkan sebagian dari gajinya yang kecil untuk menutup kekurangan itu. Ia tahu bahwa jalan ini tidak mudah, tetapi ia yakin dengan usaha, doa, dan kesabaran, mereka akan berhasil.
Tahun demi tahun berlalu. Budi, Siti, dan Andi berhasil lulus sekolah dasar dengan nilai yang cukup baik. Mereka melanjutkan ke SMP, SMA, bahkan hingga ke perguruan tinggi dengan penuh perjuangan. Rina terus mendampingi mereka, meski terkadang jarak yang jauh dan beban pekerjaan membuatnya sulit untuk selalu hadir.
Suatu hari, 20 tahun kemudian, Rina duduk sendiri di rumah kayunya yang sederhana. Di tangannya, ada tiga surat yang membuat hatinya penuh dengan campuran kebahagiaan dan haru. Surat pertama dari Budi. Ia telah lulus dari Akademi Kepolisian dan sekarang menjadi seorang perwira muda yang ditugaskan menjaga keamanan di daerah terpencil.
Surat kedua datang dari Siti, yang kini bekerja sebagai manajer di sebuah bank besar di kota. “Bu Rina, berkat didikanmu, aku bisa mengubah nasib keluarga kami,” tulisnya. Siti kini telah membantu keluarganya keluar dari kemiskinan dan bahkan mendirikan yayasan untuk membantu anak-anak desa lain yang ingin melanjutkan pendidikan.
Dan surat terakhir dari Andi, yang paling membuat Rina terharu. “Bu Rina, aku baru saja dilantik sebagai anggota DPRD. Janjiku padamu, aku akan bekerja keras untuk memperbaiki desa kita. Terima kasih karena telah percaya padaku,” tulisnya.
Rina menutup surat-surat itu dengan tangan gemetar. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia teringat semua perjuangan mereka, saat-saat di mana mereka hampir menyerah, saat ia harus berjuang untuk meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik.
Di tengah keheningan sore, Rina berkata lirih pada dirinya sendiri, “Mereka berhasil… Mereka berhasil menggapai mimpi-mimpi mereka.” Ia tersenyum dalam tangisnya. Meski usianya telah menua dan tubuhnya mulai melemah, hatinya penuh dengan kebanggaan dan cinta.
Janji yang ia buat bertahun-tahun lalu telah terpenuhi. Rina mungkin hanya seorang guru di desa kecil, tapi bagi tiga anak yang kini telah mengubah nasib mereka, Rina adalah pahlawan yang tak terlupakan.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa