“Jalu, hidup ini bukan tentang siapa yang terlihat lebih besar atau lebih kuat. Kadang, yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai orang lain tanpa melihat apa yang mereka miliki,” ujar Buai dengan senyum yang tulus.
Di sebuah desa yang tenang, hiduplah dua orang tetangga yang memiliki kehidupan yang sangat berbeda. Si Jalu, seorang pemilik toko kelontong yang sukses, selalu merasa bangga dengan pencapaiannya. Tokonya selalu ramai, dan dia sering dipuji oleh warga desa karena kelihaiannya dalam berdagang. Dengan bangganya, Jalu melihat dirinya sebagai orang terpandang. Sebaliknya, tetangganya, Si Buai, tampak seolah hidup dalam keterbatasan. Pakaian lusuh dan rumah kayu tua membuat banyak orang, termasuk Jalu, menganggap Buai hanyalah seorang miskin yang tak mampu berbuat apa-apa.
“Ah, Buai itu tak ada apa-apanya dibandingkan aku,” pikir Jalu setiap kali dia melihat Buai lewat di depan tokonya dengan wajah lesu. Jalu sering kali menyepelekan Buai, merasa bahwa dirinya berada di atas segala-galanya. Setiap kali Buai datang ke tokonya untuk membeli kebutuhan pokok, Jalu kerap melontarkan komentar sinis dan menyindir kekurangan uang Buai.
“Buai, kenapa kau tidak bekerja lebih keras? Lihat aku, usaha ini tidak datang begitu saja. Aku bangun dari nol! Kalau kau mau, aku bisa memberimu beberapa tips,” ujar Jalu suatu hari sambil tersenyum mengejek.
Buai hanya tersenyum tipis, tidak menjawab, dan membayar dengan uang seadanya sebelum berlalu pergi. Dia tidak pernah membalas sindiran Jalu, meski sering hatinya terasa pedih. Namun, di balik penampilannya yang sederhana, Buai menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun.
Waktu berlalu, dan desas-desus mulai beredar di desa. Ada kabar bahwa Buai sebenarnya memiliki beberapa usaha besar di kota, namun ia memilih untuk hidup sederhana dan tetap tinggal di desa demi merawat ibunya yang sudah tua. Tak seorang pun di desa yang tahu bahwa Buai adalah pemilik sepuluh perusahaan yang sukses, bergerak di bidang perdagangan, properti, dan teknologi. Selama ini, dia menyembunyikan kekayaannya, karena baginya, kebahagiaan tidak diukur dari harta benda, melainkan dari ketenangan jiwa dan persahabatan yang tulus.
Suatu hari, Jalu mendengar kabar bahwa akan ada acara besar di kota, sebuah peresmian gedung baru dari salah satu perusahaan terbesar di wilayah itu. Karena penasaran, Jalu memutuskan untuk datang ke acara tersebut. Betapa terkejutnya dia ketika melihat bahwa gedung megah yang diresmikan itu dimiliki oleh Buai, tetangga yang selama ini ia anggap remeh. Bukan hanya satu, tapi sepuluh perusahaan yang dikelola oleh Buai, dengan ratusan karyawan di bawah kepemimpinannya.
Jalu tak bisa berkata apa-apa. Dia hanya berdiri terdiam, merenungi kesombongan yang selama ini memenuhi hatinya. Betapa bodohnya dia telah meremehkan seseorang hanya dari penampilan luar. Buai, yang selalu ia pandang rendah, ternyata jauh lebih sukses dan kaya daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, Buai tidak pernah memamerkan semua itu. Dia tetap rendah hati dan tidak pernah menyinggung kesombongan Jalu.
Dengan hati yang hancur oleh rasa malu, Jalu mendekati Buai setelah acara berakhir. Dia ingin meminta maaf, namun lidahnya terasa kelu. Buai, seolah memahami kegelisahan Jalu, menepuk pundaknya dengan lembut.
“Jalu, hidup ini bukan tentang siapa yang terlihat lebih besar atau lebih kuat. Kadang, yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai orang lain tanpa melihat apa yang mereka miliki,” ujar Buai dengan senyum yang tulus.
Jalu tertunduk, menyesali semua sikap angkuhnya selama ini.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Ayo trakteer novrizal-r-topa agar bisa terus berkarya https://trakteer.id/novrizalrtopa
Penulis : Novrizal R Topa