Darah Tahta

- Jurnalis

Sabtu, 14 September 2024 - 19:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

Tapi kini, ia bertarung bukan untuk merebut tahta, melainkan untuk meruntuhkan dinasti kekuasaan yang terlalu lama membelenggu rakyat Djasu.

 

Di sebuah kerajaan modern bernama Djasu, politik berjalan seperti halnya dinasti. Sang raja, Hadrian Durjana, telah memerintah selama lebih dari 30 tahun. Meski sistem negara menganut demokrasi, pengaruh Hadrian yang kuat membuat semua keputusan seolah-olah berasal darinya. Kini, usia Raja Hadrian sudah senja, dan tahta perlu diwariskan. Bukan pada rakyat yang memilih, melainkan pada penerus dari darah dagingnya.

Namun masalah muncul ketika sang putra mahkota, Ilham, tak menginginkan kekuasaan. Dia bukanlah seorang politikus ambisius seperti ayahnya. Sejak muda, Ilham lebih tertarik pada seni, mendalami sastra, dan menyuarakan hak-hak kaum tertindas melalui puisi. Hidup dalam bayang-bayang kekuasaan ayahnya membuat Ilham resah, bahkan muak dengan dunia politik yang penuh tipu daya dan pengkhianatan. Namun, Hadrian tidak menerima penolakan sebagai jawaban.

“Ilham,” kata Raja Hadrian dengan nada suara tegas suatu sore di ruang kerja kerajaan, “Kamu harus mengambil alih, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan aku. Rakyat kita tidak siap dipimpin oleh orang luar.”

Ilham menatap ayahnya dengan dingin. “Tapi, Ayah, aku bukan dirimu. Aku tidak punya ambisi untuk berkuasa. Rakyat butuh pemimpin yang peduli, bukan seseorang yang hanya mengejar kekuasaan.”

Baca Juga:  Pulang untuk Mengabdi, Bukan Berkuasa

Hadrian menggebrak meja. “Ini bukan soal pilihanmu, ini soal tanggung jawab! Apa kamu mau melihat kerajaan kita jatuh ke tangan orang asing? Mereka akan menghancurkan segala yang telah kubangun selama ini.”

Dengan tekanan yang semakin kuat, Hadrian menggunakan segala cara untuk memaksa Ilham. Mulai dari meyakinkan para elit politik, hingga mempermainkan media dengan berita-berita yang memojokkan putranya. Kampanye besar-besaran dilancarkan untuk memaksa rakyat menerima Ilham sebagai penerus. Bahkan, ancaman-ancaman halus mulai muncul dari lingkaran dalam Hadrian yang berkuasa. Tidak ada yang boleh menolak kehendak sang Raja, termasuk anaknya sendiri.

Namun Ilham tidak diam. Dalam diamnya, ia membangun aliansi yang tidak terlihat oleh mata para politikus istana. Dia bersekutu dengan kalangan intelektual muda, seniman, aktivis, dan orang-orang dari lapisan masyarakat bawah. Mereka yang tak terlihat di atas panggung kekuasaan, tapi punya kekuatan besar di jalanan. Dalam bayangan tirani ayahnya, Ilham merencanakan sesuatu yang lebih dari sekadar menerima tahta yang dipaksakan.

Baca Juga:  Melodi Rindu: Sebuah Cerita tentang Cinta yang Tak Pernah Usai

Puncaknya, pada malam pelantikan Ilham sebagai penerus, sebuah pidato mengejutkan disampaikan olehnya di depan seluruh rakyat yang menyaksikan melalui layar-layar besar di seluruh penjuru negeri.

“Aku, Ilham Durjana, menolak tahta ini. Karena kekuasaan bukanlah hak yang diwariskan, melainkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh mereka yang sungguh-sungguh ingin melayani rakyatnya. Aku tidak akan menjadi boneka kekuasaan, dan aku lebih memilih menjadi bagian dari kalian, rakyat Djasu.”

Pidato itu membuat geger. Hadrian yang mendengarnya dari balkon istana seketika berdiri kaku. Ia tidak percaya putranya akan menentang begitu terang-terangan. Namun, rakyat bersorak mendukung Ilham. Di luar perkiraan sang raja, mereka melihat harapan baru pada pemuda yang berani menolak jalan lama dan korupsi kekuasaan.

Di sinilah cerita baru dimulai. Ilham, tanpa mahkota, tapi dengan dukungan rakyat, bersiap menghadapi intrik politik yang lebih besar. Tapi kini, ia bertarung bukan untuk merebut tahta, melainkan untuk meruntuhkan dinasti kekuasaan yang terlalu lama membelenggu rakyat Djasu.

 

(⁣Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)

 

Penulis : Novrizal R Topa

Berita Terkait

Ilmu Tebu Bosku! Semakin Tua, Semakin Manis
Mistikus Cinta di Panggung Kekuasaan: Dilema Antara Hati dan Ambisi
Amor Fati: Perjalanan Cinta Rungkat Terhadap Takdirnya
Melodi Rindu: Sebuah Cerita tentang Cinta yang Tak Pernah Usai
Di Antara Gelas Kopi dan Impian yang Bergemuruh
Di Balik Kemiskinan Palsu, Ada Tangis Penyesalan Si Jalu
Di Bawah Langit Kering: Perjuangan Tanpa Akhir
Perjuangan Daksa untuk Tokoh Adat
Berita ini 10 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 14 Oktober 2024 - 23:14 WIB

Ilmu Tebu Bosku! Semakin Tua, Semakin Manis

Minggu, 13 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mistikus Cinta di Panggung Kekuasaan: Dilema Antara Hati dan Ambisi

Jumat, 11 Oktober 2024 - 21:49 WIB

Amor Fati: Perjalanan Cinta Rungkat Terhadap Takdirnya

Sabtu, 5 Oktober 2024 - 10:03 WIB

Melodi Rindu: Sebuah Cerita tentang Cinta yang Tak Pernah Usai

Selasa, 1 Oktober 2024 - 21:38 WIB

Di Antara Gelas Kopi dan Impian yang Bergemuruh

Berita Terbaru

Fiksi Ringkas (Fri)

Ilmu Tebu Bosku! Semakin Tua, Semakin Manis

Senin, 14 Okt 2024 - 23:14 WIB