“Saya tidak akan menjanjikan perubahan besar dalam semalam. Namun, saya bisa berjanji satu hal, akan selalu ada untuk kalian. Saya ingin mengabdi, bukan sebagai pengacara yang sukses, tetapi sebagai anak desa yang kembali pulang.”
Di sebuah desa terpencil bernama Watujae, berdirilah seorang pria bernama Namhar, yang dikenal sebagai pengacara tangguh di kota besar. Selama bertahun-tahun, Namhar memenangkan banyak kasus, khususnya yang membela kaum tertindas. Namhar berasal dari desa itu, namun hidupnya selama ini telah terpisah jauh. Dia pergi ke kota, mengejar mimpi dan karier hingga namanya terkenal di seluruh negeri. Namun, dengan semua kesuksesan yang ia raih, ada sesuatu yang selalu memanggilnya pulang, tanah kelahirannya, Watujae.
Suatu hari, ketika Namhar sedang menyelesaikan kasus besar di pengadilan, berita sampai di telinganya bahwa desa asalnya akan mengadakan pemilihan kepala desa. Sesuatu dalam dirinya bergetar. Sudah lama ia merasa, semua kesuksesan yang diraih tidak berarti apa-apa jika tidak ada dampaknya bagi desa yang membesarkannya.
“Aku sudah selesai dengan ambisi pribadiku,” gumam Namhar dalam hati, “Sekarang waktunya aku pulang dan berbakti kepada desa.”
Beberapa bulan kemudian, Namhar memutuskan maju dalam pemilihan kepala desa Watujae. Dia tahu, ini bukan tentang kekuasaan, tapi tentang pengabdian. Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri di desa lain, namun kekalahannya di sana membuatnya sadar, rumah sejatinya adalah Watujae.
Meski banyak penduduk desa mengenal Namhar sebagai pengacara yang hebat, mereka masih ragu. “Apakah Namhar benar-benar mau mengabdi untuk desa, atau hanya mengejar jabatan?” bisik beberapa orang di warung kopi.
Namhar tahu tantangan ini. Dia tahu, untuk membuktikan niatnya tidaklah mudah. Meskipun ia berhasil di dunia hukum, tidak ada jaminan bahwa ia bisa memenangkan hati rakyat di desa. Pemimpin yang baik bukan hanya tentang kemampuan, tetapi tentang kepercayaan. Dan kepercayaan itu, harus ia bangun kembali.
Hari demi hari, Namhar mulai berkeliling desa. Dia mendatangi satu per satu rumah warga, berbicara dengan mereka, mendengarkan masalah yang mereka hadapi. Ia membantu tanpa pamrih, tanpa janji politik. Jika ada yang sakit, ia mencarikan bantuan medis. Jika ada yang terlibat masalah hukum, ia menawarkan pendampingan. Namun, ia tidak pernah menjanjikan kemenangan. “Saya hanya ingin berbakti,” katanya setiap kali.
Perjalanan Namhar tak sepenuhnya mulus. Beberapa tokoh desa yang sudah lama berkuasa merasa terancam oleh kehadirannya. Mereka menuduh Namhar hanya ingin menggunakan desa sebagai batu loncatan untuk ambisi politik yang lebih besar. Fitnah menyebar, Namhar difitnah sebagai orang yang hanya peduli pada uang dan kekuasaan. Sebagian warga mulai meragukan niatnya, terpengaruh oleh rumor.
Namhar tetap tenang. Baginya, kemenangan bukanlah tujuan. “Jika warga desa percaya padaku, itu anugerah. Jika tidak, aku tetap akan membantu mereka sebisaku.” Namhar tidak melawan fitnah dengan kebencian. Dia percaya, keadilan selalu menang, seperti dalam kasus-kasus yang pernah dia tangani.
Saat hari pemilihan semakin dekat, Namhar mengumpulkan warga desa di alun-alun kecil di Watujae. Di depan mereka, dia tidak berjanji muluk-muluk.
“Saya tidak akan menjanjikan perubahan besar dalam semalam. Namun, saya bisa berjanji satu hal, akan selalu ada untuk kalian. Saya ingin mengabdi, bukan sebagai pengacara yang sukses, tetapi sebagai anak desa yang kembali pulang.”
Kata-kata itu menggetarkan hati banyak orang. Bukan karena indah, tapi karena ketulusan yang terpancar dari mata Namhar. Hari itu, banyak warga yang mulai percaya padanya.
Pemilihan pun tiba. Dengan segala ketegangan yang melingkupi, hasilnya diumumkan. Namhar terpilih sebagai kepala desa Watujae dengan suara mayoritas. Namun, bagi Namhar, kemenangan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab besar yang harus ia pikul.
Sebagai kepala desa, Namhar bekerja dengan rendah hati, mendengarkan warga, dan membuat kebijakan yang sederhana namun efektif. Dia memimpin bukan dari belakang meja, tetapi dari lapangan, berjalan bersama rakyatnya. Namhar mengubah desa itu sedikit demi sedikit, bukan dengan program-program besar, tetapi dengan perhatian yang tulus pada hal-hal kecil yang berarti bagi warga.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa