“Diiringi musik yang masih mengalun, Maman meneguk kopinya perlahan, sambil membiarkan dirinya sekali lagi ditelan oleh memori yang tak mungkin terlupakan”.
Duduk di atas sofa tuanya yang mulai usang, Maman menatap jendela dengan mata kosong. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi atap seng rumahnya, menciptakan irama monoton yang mengiringi pikirannya yang berkelana jauh. Alunan musik dari speaker kecil di sudut ruangan melantunkan lagu-lagu nostalgia, dan kini, “I Live My Life for You” dari FireHouse mengalun lembut. Suara gitar yang mendayu-dayu, disusul oleh vokal yang penuh perasaan, membuat Maman tenggelam dalam lamunan. Lagu itu, meski sudah begitu lama ia kenal, selalu berhasil menariknya kembali ke masa lalu yang kini terasa bagai mimpi yang hampir terlupakan.
Di benaknya, kenangan tentang Sari muncul kembali, menghiasi pikiran yang telah lelah. Cinta pertama Maman. Mereka bertemu di sebuah pesta pernikahan sederhana di kampung, bertukar pandang di tengah keramaian yang sesaat terasa sunyi. Saat itu, ia merasa seperti ada magnet yang menariknya mendekati Sari, gadis yang penuh tawa dengan mata bercahaya. Mereka tak butuh banyak kata untuk saling memahami; cukup dengan senyuman, dunia seolah hanya milik mereka berdua.
Sejak pertemuan itu, Sari menjadi pusat hidup Maman. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, semuanya berputar di sekitar gadis itu. Seperti lirik dalam lagu FireHouse, Maman benar-benar merasa bahwa ia hidup hanya untuk Sari. Tak terhitung lagi berapa malam mereka habiskan berbincang di bawah bintang, membicarakan masa depan, merajut mimpi-mimpi besar yang mereka yakini bisa dicapai bersama.
Di suatu malam yang tak terlupakan, di tepi pantai tempat mereka biasa duduk berdua, Maman menggenggam tangan Sari dengan lembut. “Aku akan selalu ada untukmu,” bisiknya di sela desiran ombak yang membelai pantai. Sari hanya tersenyum, lalu menempelkan kepalanya di pundak Maman. Mereka saling berjanji, bahwa apa pun yang terjadi, cinta mereka akan tetap ada, tak tergoyahkan oleh waktu atau jarak. Di bawah langit malam yang cerah, mereka merasa yakin bahwa cinta itu abadi.
Namun, kenyataan jarang seindah janji yang diucapkan. Hidup, dengan segala komplikasinya, mulai menyulitkan mereka. Maman harus pindah ke kota untuk mencari pekerjaan, meninggalkan kampung halaman dan Sari di belakang. Jarak yang pada awalnya terasa kecil, lama kelamaan menjadi tembok besar yang memisahkan mereka. Telepon menjadi semakin jarang, dan pesan-pesan yang dulu penuh dengan kata-kata cinta berubah menjadi sekadar sapaan singkat yang formal. Maman tahu bahwa sesuatu sedang berubah, tetapi ia tak ingin mengakuinya. Hingga suatu hari, Sari menelepon dengan suara lembut namun tegas, mengatakan bahwa mereka perlu bicara.
Itu adalah percakapan yang tidak pernah ingin diingat Maman. Sari memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. “Ini bukan salahmu,” katanya saat itu. “Kita hanya berada di tempat yang berbeda sekarang.” Kalimat itu, meski diucapkan dengan penuh kesabaran, terasa seperti pisau yang mengiris hati Maman. Semua janji yang pernah mereka buat, semua mimpi yang mereka bangun bersama, seketika runtuh seperti kastil pasir yang diterpa ombak.
Waktu terus berlalu. Maman berusaha keras untuk melupakan Sari, untuk kembali menjalani hidup tanpa bayangan perempuan itu di setiap langkahnya. Tapi, setiap kali lagu “I Live My Life for You” berputar di radio atau muncul secara acak di playlist-nya, kenangan itu menyeruak kembali. Lagu itu seperti pengingat dari masa lalu, membawa Maman kembali ke masa-masa ketika cinta terasa begitu mutlak, begitu tak tergoyahkan. Di setiap nada, ia mendengar janji-janji yang pernah mereka buat, dan di setiap lirik, ia merasakan kembali kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.
“I need you like I’ve never needed anyone before – Aku membutuhkanmu, seperti aku tidak pernah membutuhkan siapa pun sebelumnya”, bait ini seakan mengingatkan Maman tatkala dirinya di rundung kerinduan yang mendalam.
Kini, di tengah hujan yang masih turun perlahan, Maman tersadar dari lamunannya. Sebuah ranting jatuh di atas atap seng, membuatnya terkejut sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan diri dari kenangan yang terus menghantui.
Di kepalanya, sebuah kalimat bijak dari Socrates muncul, seolah menertawakannya dari balik sejarah: “The only true wisdom is in knowing you know nothing.” — Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak tahu apa-apa.
Maman tersenyum pahit. Mungkin benar, selama ini ia mengira tahu apa itu cinta, apa itu kehidupan, dan bagaimana seharusnya segala sesuatunya berjalan. Tapi semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa ia sebenarnya tak tahu apa-apa. Hidup dan cinta, keduanya penuh dengan ketidakpastian yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Meskipun ia pernah percaya bahwa ia bisa mengontrol segalanya, kenyataannya, cinta pertama itu telah mengajarinya pelajaran paling berharga, bahwa tidak semua hal dapat dipertahankan, meskipun kita sangat menginginkannya.
Maman menatap kembali ke arah jendela. Hujan masih belum berhenti, dan langit kelabu seolah mencerminkan perasaannya yang sendu. Tapi ia tidak merasa sedih lagi. Ada ketenangan yang aneh dalam mengetahui bahwa ia tak perlu memahami segalanya. Kenangan tentang Sari, tentang cinta mereka, tentang janji-janji yang tak terpenuhi, akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Tapi itu hanyalah kenangan, dan hidup terus berjalan.
Dengan tangan gemetar, Maman mengangkat cangkir kopinya yang hampir dingin.
“Cinta itu tidak abadi,” pikirnya. “Tapi kenangan, mungkin iya.”
Diiringi musik yang masih mengalun, Maman meneguk kopinya perlahan, sambil membiarkan dirinya sekali lagi ditelan oleh memori yang tak mungkin terlupakan.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Ayo trakteer novrizal-r-topa agar bisa terus berkarya https://trakteer.id/novrizalrtopa
Penulis : Novrizal R Topa