“Amor Fati,” ia berbisik lagi, seraya tersenyum. Ini adalah awal bagi dirinya, perjalanan baru menuju cinta yang lebih agung, “cinta terhadap takdirnya sendiri, cinta terhadap dirinya yang baru, dan cinta terhadap hari-hari yang akan datang”.
Rungkat duduk di sudut kamar yang remang. Tangannya menggenggam buku usang, “Amor Fati Fatum Brutum.” Kata-kata Latin yang menggetarkan hati itu seolah membisikkan makna yang mendalam: cintailah takdirmu walaupun kejam. Malam itu, kesunyian menemaninya, namun hatinya terbang jauh ke masa-masa silam, ketika kebahagiaan masih bersemayam dalam rumah tangganya bersama Tagnur.
Dulu, Rungkat mengenal Tagnur sebagai seorang pria yang tak hanya menawarkan cinta, tapi juga janji untuk saling menjaga. Mereka berdiri di pelaminan dengan penuh harapan, mengucapkan ikrar suci, tangan mereka saling menggenggam erat, seolah berjanji bahwa kebersamaan itu akan bertahan selamanya. Tagnur mengajarinya tertawa, menghadapi dunia dengan berani, bahkan saat angin keras menggoyahkan mereka. Setiap sore, mereka saling berbagi cerita, membangun mimpi, dan menjadikan waktu sebagai sekutu mereka.
Namun, tahun-tahun yang berlalu rupanya membawa angin yang lebih keras dari yang mereka kira. Lambat laun, Tagnur semakin larut dalam dunianya sendiri, hingga suatu hari, semua yang pernah menjadi fondasi cinta mereka runtuh, menyisakan Rungkat dalam kesepian yang kelam. Rungkat belajar bahwa cinta tak selalu bisa bertahan hanya dengan janji dan kenangan. Meski telah berjuang sekuat tenaga, ia harus merelakan Tagnur pergi.
Kini, ketika segala harap dan mimpi bersama Tagnur hanya menjadi bagian dari masa lalu, Rungkat menyadari bahwa hidupnya harus terus berjalan. Ia tahu, tak mudah untuk melangkah tanpa seseorang yang pernah menjadi sebagian dari dirinya. Rasa kehilangan itu nyata, mencengkeram hatinya setiap malam, dan rasa rindu kadang datang begitu deras, menghantam ketenangan yang sedang ia coba bangun.
Namun, di sinilah buku itu datang dan menjadi penerangnya. Nietzsche, dengan segala penderitaannya, mengajarkan Rungkat untuk mencintai hidup apa adanya.
“Amor Fati,” bisiknya pelan, seperti menguatkan dirinya sendiri. Setiap kali ia merasakan kesedihan melingkupinya, ia akan membuka buku itu, membaca kalimat-kalimat yang seakan mengingatkannya bahwa hidup tak pernah benar-benar memilih antara manis atau pahit. Hidup adalah gabungan keduanya, dan tugasnya adalah menerimanya dengan sepenuh hati.
Malam itu, di bawah temaram cahaya lampu, Rungkat menutup buku dan membisikkan doa. Bukan untuk Tagnur, bukan pula untuk merayu masa lalu, tapi untuk dirinya sendiri. Ia berjanji akan menjadi lebih kuat, lebih tegar, lebih mampu menerima dan mencintai setiap babak hidupnya. Jika dulu ia mencintai Tagnur dengan sepenuh jiwa, kini ia harus belajar mencintai dirinya sendiri.
Malam semakin larut, tetapi Rungkat merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ia bukan lagi perempuan yang terkungkung dalam luka. Ia bukan lagi perempuan yang menunggu seseorang untuk mengisi ruang yang kosong di hatinya. Ia adalah Rungkat yang baru, perempuan yang berani mencintai takdirnya sendiri, yang memilih untuk berjalan meski sunyi, yang memilih untuk tersenyum meski sendirian. Ia menatap ke arah jendela, melihat bintang-bintang yang berkerlip seperti memberi tanda bahwa hidupnya masih memiliki cahaya.
“Amor Fati,” ia berbisik lagi, seraya tersenyum. Ini adalah awal bagi dirinya, perjalanan baru menuju cinta yang lebih agung, “cinta terhadap takdirnya sendiri, cinta terhadap dirinya yang baru, dan cinta terhadap hari-hari yang akan datang”.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa