“Karena bagi Ajab, mengabdi bukanlah pilihan, melainkan panggilan yang ia terima dengan sepenuh hati”.
Ajab berdiri di atas bukit kecil yang menghadap ke kampungnya, Desa Awal Jaya. Angin senja yang sejuk membelai wajahnya, namun tak mampu menghilangkan kekhawatiran yang membekap hatinya. Sudah sepuluh tahun ia bekerja sama dengan kepala desa, mencoba memperbaiki nasib kampung yang terjebak dalam pusaran kemiskinan dan lilitan hutang. Meski banyak kemajuan kecil, masalah besar masih menghantui, yakni roda perekonomian mandek, akses jalan rusak, dan hasil tani tak bisa dijual ke kota.
Ajab adalah anak dari keluarga petani sederhana, dibesarkan dengan nilai-nilai luhur para leluhur yang selalu mengutamakan kebersamaan dan gotong royong. Setiap petuah yang ia dengar sejak kecil mengajarkannya satu hal: tanah ini adalah warisan, bukan hanya dari orang tua, tapi juga untuk anak cucu. Dan sebagai pewaris, ia merasa punya tanggung jawab yang besar untuk menjaganya.
Namun, sepuluh tahun terakhir ini adalah ujian terberat bagi Ajab. Ia melihat bagaimana harapan warganya perlahan meredup, tenggelam dalam tumpukan hutang dan kesulitan. Banyak anak muda yang meninggalkan desa, mencari kehidupan yang lebih baik di kota. Ajab tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi. Asa yang dulu sempat tertunda kini kembali menggelora dalam dadanya.
Dalam keheningan sore itu, Ajab membuat tekad yang tak tergoyahkan, ia akan maju dalam pemilihan kepala desa berikutnya. Bukan karena ambisi pribadi, tapi karena desakan hatinya yang tulus untuk mengabdikan hidupnya bagi negeri. Ajab percaya, dengan niat yang benar, ia bisa membangkitkan kembali perekonomian desa, membebaskan warganya dari jeratan hutang, dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.
Malam itu, ia berkumpul dengan tokoh-tokoh desa dan para tetua adat. Di tengah lingkaran kecil itu, Ajab berbicara dengan hati yang terbuka.
“Saya tidak ingin hanya menjadi bagian dari sejarah yang diam. Saya ingin melanjutkan perjuangan leluhur kita, menjaga tanah ini, menjaga kehormatan kita sebagai warga desa. Saya tidak punya banyak janji, tapi saya punya tekad dan niat yang tulus.”
Suasana seketika hening, sampai akhirnya salah satu tetua adat, seorang pria tua dengan mata tajam dan rambut memutih, berdiri dan berkata,
“Ajab, kami melihat ketulusanmu. Leluhur kita tidak pernah mengajarkan kita untuk menyerah. Jika kau benar-benar ingin mewakafkan dirimu untuk negeri ini, kami akan mendukungmu.”
Kata-kata itu bagaikan restu dari langit. Ajab merasa hatinya penuh dengan semangat. Perjalanan baru ini tidak akan mudah, ia tahu itu. Banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Tapi Ajab tidak sendirian. Dukungan dari warganya, dorongan dari warisan leluhur, dan nawaitu yang kuat akan menjadi bahan bakarnya.
Di hari-hari berikutnya, Ajab mulai bergerak. Ia memperbaiki jaringan transportasi di desa, bekerja sama dengan para petani untuk membentuk koperasi, dan mengundang para ahli untuk memberikan pelatihan tentang pertanian berkelanjutan. Ia juga mulai merancang program pendidikan untuk anak-anak muda agar mereka tidak lagi harus pergi meninggalkan desa.
Setiap langkah yang ia ambil bukan tanpa tantangan. Ada pihak-pihak yang meragukan niatnya, bahkan ada yang mencoba menjatuhkannya. Namun Ajab tidak gentar. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan tentang dirinya, tapi tentang masa depan desanya.
Hari pemilihan tiba. Ajab berdiri di depan ribuan warga yang hadir, menatap mereka satu per satu. Di sana, ia melihat wajah-wajah penuh harapan, sama seperti harapan yang dulu pernah ia rasakan ketika pertama kali terjun ke dunia pengabdian.
“Saya berdiri di sini bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai pelayan. Saya di sini untuk kita semua, untuk masa depan anak-anak kita, dan untuk kehormatan desa ini,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
Ketika hasil pemilihan diumumkan, Ajab terpilih dengan mayoritas suara. Ia tak bisa menahan air mata harunya. Ini bukan sekadar kemenangan pribadi, melainkan kemenangan bagi desanya, bagi semua mimpi yang sempat tertunda.
Di malam itu, Ajab kembali berdiri di bukit kecil yang sama, memandang kampungnya yang tenang di bawah sinar rembulan.
“Dalam hatinya, ia berjanji akan terus melanjutkan perjuangan ini. Karena bagi Ajab, mengabdi bukanlah pilihan, melainkan panggilan yang ia terima dengan sepenuh hati”
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa