Flora, yang kala itu hadir dengan gaun anggun berwarna merah, langsung menarik perhatian Sigma. Kecantikannya seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan
Flora, dengan rambut panjang yang berkilauan seperti sutra dan kulit sehalus porselen, adalah pusat perhatian di mana pun ia berada. Setiap langkahnya diiringi dengan kekaguman dan pujian dari orang-orang di sekitarnya. Namun di balik pesonanya, ada sesuatu yang hanya sedikit orang tahu. Flora adalah seorang penipu ulung. Dengan kecantikannya, ia bukan hanya menipu pandangan, tetapi juga menundukkan hati dan pikiran orang-orang di sekelilingnya.
Di kota Trasik, hidup seorang pemuda sederhana bernama Sigma. Ia adalah anak dari seorang pengusaha kopi, bukan pengusaha besar, tetapi cukup sukses untuk memberi keluarganya kehidupan yang layak. Sigma bukanlah orang yang banyak bicara, namun ambisinya kuat. Mimpinya adalah bekerja di bank ternama di kota besar, mengangkat derajat keluarga yang selama ini hidup dengan penuh usaha.
Seperti kebanyakan pemuda seusianya, Sigma percaya bahwa kerja keras akan membawanya pada kesuksesan. Ia telah melalui berbagai ujian dan wawancara untuk posisi impiannya di bank tersebut, namun kesempatan itu terus lolos dari genggamannya. Rasa frustrasi mulai merayapi pikirannya, hingga suatu hari ia bertemu Flora di sebuah acara sosial yang diadakan oleh komunitas bisnis di kota Trasik.
Flora, yang kala itu hadir dengan gaun anggun berwarna merah, langsung menarik perhatian Sigma. Kecantikannya seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Sigma yang biasanya pemalu, tiba-tiba merasa keberaniannya muncul ketika Flora mendekatinya dengan senyum manis. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari bisnis kopi keluarganya hingga impian Sigma untuk bekerja di bank ternama. Flora mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah memahami segala keresahan Sigma.
Setelah beberapa waktu, Flora dengan lembut menyampaikan bahwa ia memiliki koneksi yang bisa membantu Sigma. “Kamu tahu, ada banyak cara untuk mencapai sesuatu,” katanya dengan nada meyakinkan.
“Aku punya beberapa kenalan di bank itu, dan aku bisa membantumu mewujudkan impianmu. Asal kamu bisa bersabar dan ada sedikit biaya untuk mengurus ini semua.”
Sigma, yang sudah terpesona oleh kecantikan Flora, merasa bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Flora meminta “sumbangan” sebesar 409 juta rupiah, dengan dalih untuk melicinkan proses seleksi dan memastikan Sigma mendapatkan posisi yang diinginkannya. Uang sebesar itu bukan jumlah kecil, terutama bagi Sigma dan keluarganya. Namun, didorong oleh janji manis Flora dan pesonanya yang memukau, Sigma menyerahkan seluruh tabungan keluarganya, uang yang dikumpulkan dengan keringat dan usaha bertahun-tahun.
Hari demi hari berlalu, namun Sigma tidak pernah mendapat kabar dari bank tersebut. Setiap kali ia mencoba menghubungi Flora, teleponnya tidak pernah dijawab. Sigma mulai merasakan kegelisahan yang semakin membesar. Rasa penyesalan mulai menggerogoti dirinya ketika ia menyadari bahwa ia telah tertipu. Kecantikan yang sebelumnya memikatnya kini terasa seperti jerat yang mencekik.
Tak ingin tenggelam dalam keputusasaan, Sigma memutuskan untuk bertindak. Ia mulai menyelidiki lebih jauh tentang Flora dan masa lalunya. Dari hasil penyelidikannya, ia menemukan bahwa Flora telah melakukan hal yang sama kepada beberapa orang lainnya. Ia menipu pengusaha kecil, pejabat pemerintah, bahkan anggota komunitas anti korupsi dengan janji-janji kosong dan pesona yang memukau. Sigma bertemu dengan beberapa korbannya—seorang pengusaha muda yang kehilangan modalnya, seorang wanita muda yang ditipu oleh janji karier, dan seorang pejabat yang kariernya hancur akibat manipulasi Flora.
Dengan tekad bulat, Sigma mengajak para korban lainnya untuk bersatu. Mereka mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Flora dan menyusun rencana untuk menjebaknya. Sigma memutuskan untuk berpura-pura menjadi calon korban baru, menjanjikan uang yang lebih besar dari sebelumnya kepada Flora. Flora, yang terbuai oleh kesempatan besar ini, tidak menyadari bahwa kali ini, dia yang menjadi target.
Saat Flora datang untuk menerima uang tersebut, polisi yang telah bekerja sama dengan Sigma segera menangkapnya. Flora akhirnya dihadapkan pada hukum. Di ruang sidang, kecantikannya yang dulu selalu menyelamatkannya kini tidak lagi mampu menolongnya. Mata masyarakat yang sebelumnya hanya melihat pesonanya, kini terbuka terhadap kejahatan yang ia lakukan.
Dalam perjalanan ini, Sigma belajar sebuah pelajaran berharga yang mengubah cara pandangnya terhadap dunia: “Jangan pernah menilai seseorang dari kulit luarnya.” Kecantikan bisa menjadi ilusi yang menipu, menutupi kebusukan di dalam. Sigma menyadari bahwa kecantikan sejati tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik, melainkan dengan integritas, kejujuran, dan kebaikan hati seseorang.
Pesan ini kemudian ia bagikan kepada keluarganya dan teman-temannya, mengingatkan mereka untuk selalu berhati-hati. Sigma telah membayar mahal untuk pelajaran ini, tetapi dari pengalaman pahitnya, ia menjadi pribadi yang lebih bijak. Kini, Sigma tahu bahwa tidak semua yang tampak indah adalah benar adanya, dan bahwa kejujuran selalu lebih berharga daripada kilauan kecantikan yang palsu.
Dengan kisah Flora sebagai pengingat, Sigma melangkah ke depan, meninggalkan masa lalu dan terus berusaha menggapai impiannya. Namun kali ini, dengan mata yang lebih waspada dan hati yang lebih bijak.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa