FNEWS.ID, Kendari – Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara bersama Sulawesi Cipta Forum (SCF) dan berbagai instansi terkait menggelar Pertemuan Kelompok Kerja (POKJA) REDD+. Pertemuan yang berlangsung di Ruang Rapat Kantor Bappeda Sulawesi Tenggara ini bertujuan untuk membahas mekanisme kerja kolaboratif dalam implementasi Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).Senin, (17/2/ 2025).
Menurut Sutrisno Absar, M.Sc., Program Manager Sulawesi Cipta Forum (SCF), implementasi REDD+ sangat penting bagi Sulawesi Tenggara mengingat tingginya tingkat deforestasi akibat illegal logging, kebakaran hutan, aktivitas tambang ilegal, serta konflik lahan.
Ia mengungkapkan bahwa capaian penurunan emisi di sektor hutan dan lahan di Sultra masih sangat rendah, yakni hanya 0,1% dari total potensi 12,8 juta ton CO2eq pada tahun 2023.
“Tantangan terbesar dalam implementasi REDD+ di Sulawesi Tenggara adalah masih lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan hutan dan belum adanya mekanisme kerja yang terstruktur. Oleh karena itu, pembentukan Kelompok Kerja REDD+ ini diharapkan menjadi langkah awal dalam menciptakan sistem yang lebih transparan dan berkelanjutan,” ujar Sutrisno.
Sutrisno yang akrab disapa Nono ini menerangkan, Sulawesi Tenggara sendiri memiliki 2.253 desa yang berpotensi menjadi desa Proklim (Program Kampung Iklim) serta 54 kelompok usaha perhutanan sosial, yang dapat menjadi aktor utama dalam pengelolaan hutan lestari.
“Melalui program ini, diharapkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) bisa mencapai 789.217 ton CO2eq, serta mendorong rehabilitasi hutan, perlindungan kawasan, dan penguatan kelompok usaha tani hutan,” jelas Nono.
Selain itu, Nono menyampaikan dalam pertemuan ini juga dibahas langkah-langkah strategis, seperti penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) REDD+, peningkatan kapasitas pengelolaan hutan, serta pengembangan produk berbasis komunitas yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani hutan.
“Implementasi REDD+ bukan hanya soal penurunan emisi, tetapi juga soal bagaimana kita meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Dengan adanya program ini, petani hutan akan mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih baik melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” tambah Nono.
Lebih lanjut Nono bilang, sebagai langkah konkret, program REDD+ di Sulawesi Tenggara akan diuji coba di wilayah seluas 200.863 hektare di tiga kabupaten/kota.
Dengan adanya Kelompok Kerja REDD+, diharapkan implementasi program ini berjalan lebih efektif, memberikan kontribusi nyata dalam menekan laju deforestasi, serta mendukung target nasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Program ini didanai melalui skema Result-Based Payment (RBP) REDD+, yang telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tutup Nono.
Penulis : Novrizal R Topa
Editor : Redaksi