Oleh: Al Yoyo
(Ketua Repdem Kendari)
KENDARI – Di tengah hiruk-pikuk diskusi publik tentang moralitas dan perlindungan anak, kita disodorkan pada satu kasus yang menyita perhatian: Guru Mansur, pengajar di SDN 2 Kendari yang divonis 5 tahun penjara atas tuduhan pelecehan murid. Vonis itu diganjar oleh Pengadilan Negeri Kendari, namun narasi yang tumbuh di tengah masyarakat tidak sesederhana hitam-putih. Ada ruang abu-abu yang justru menuntut kita berpikir lebih jernih.
Di satu sisi, hukum ingin melindungi anak, dan itu tidak bisa ditawar. Namun di sisi lain, ada potensi bahwa seorang guru justru menjadi korban kriminalisasi atas dasar bukti yang dinilai banyak pihak lemah, minim saksi, dan menyimpan kejanggalan. Dilema moral dan hukum inilah yang menempatkan publik pada ujian paling mendasar: apakah kita masih percaya pada asas keadilan?
Menurut pemberitaan yang beredar, tuduhan bermula ketika Mansur disebut memegang kepala seorang murid yang sedang demam. Di persidangan, saksi guru menyebut tindakan itu adalah bentuk kepedulian, bukan pelecehan. Bahkan tim kuasa hukum menyebut bahwa pembuktian hanya bersandar pada satu saksi tanpa dukungan alat bukti yang diverifikasi secara forensik. Namun hakim tetap memutuskan vonis bersalah. Di sinilah kontradiksi menganga.
Ketika guru Mansur pamit dari sekolah, murid-murid memeluk dan menangis. Adegan yang seharusnya mengharukan, berubah menjadi ironi. Apakah bangsa ini sudah terlalu cepat menghukum sebelum benar-benar mendengar? Atau justru anak-anak itu belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi? Kedua pertanyaan itu sah, menyakitkan, dan wajib kita renungkan.
Di tengah situasi ini, DPC REPDEM Kota Kendari mengingatkan bahwa hukum tak boleh dipermainkan. Mereka mengecam dugaan kriminalisasi terhadap insan pendidikan dan menuntut proses banding yang adil serta transparan. REPDEM melihat adanya indikasi rekayasa dan intervensi hukum dalam kasus ini, yang jika benar terjadi, bukan hanya merampas kebebasan seorang guru, tetapi merusak fondasi kepercayaan pada keadilan.
Bayangkan jika setiap guru mengusap kepala murid, menolong siswa sakit, atau memberi perhatian kecil harus diliputi rasa takut karena bisa dianggap pelecehan. Apakah ruang kelas masih tempat yang aman? Masihkah ada ruang kasih dalam mendidik?
Kita tentu tidak boleh menganggap enteng laporan anak, dimana keselamatan mereka prioritas. Namun kita juga tidak boleh membiarkan hukum berubah menjadi palu yang memukul tanpa pandang fakta. Perlindungan anak dan perlindungan guru harus berjalan seimbang. Tidak ada yang boleh dikorbankan demi kepuasan emosional publik.
Kasus ini menguji kedewasaan kita sebagai masyarakat. Kita butuh keberanian untuk bertanya:
- Apakah proses peradilan telah benar-benar objektif?
- Apakah satu kesaksian cukup untuk meruntuhkan hidup seseorang?
- Apakah ruang banding nanti akan lebih jujur membuka fakta?
Dan yang paling penting: apakah kita ingin hukum yang keras tetapi buta, atau hukum yang tegas tetapi berbelas nurani?
Banding sedang berjalan. Harapan masih terbuka. Bukan untuk memenangkan salah satu pihak, melainkan untuk memenangkan kebenaran.
Mari kita mengawal proses hukum ini tanpa menyulut kebencian. Kita hadir bukan untuk menghakimi, tetapi memastikan pengadilan menghormati fakta dan keadilan bekerja bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai nilai moral bangsa.
Guru membutuhkan perlindungan agar tetap berani mendidik. Anak membutuhkan perlindungan agar tetap tumbuh aman. Keadilan membutuhkan kita semua untuk tetap waras, kritis, dan manusiawi.
Jika guru Mansur terbukti bersalah kelak, hukuman harus ditegakkan. Tetapi jika tidak, negara berkewajiban memulihkan nama, martabat, dan ruang hidupnya.
Hidup guru.
Hidup pendidikan.
Hidup keadilan yang berpihak pada kebenaran, bukan pada asumsi.









