Serotonin, adenosin, kafein, semua zat dalam tubuhnya berperang. Tapi kali ini, Rizal yakin, dengan setiap langkah yang ia ambil, dialah yang akan menentukan bagaimana cerita ini akan berakhir.
Rizal duduk termenung di pojok kafe, menatap keluar jendela yang basah oleh hujan. Udara dingin menyelinap masuk, tapi dinginnya tak sebanding dengan kegelisahan yang berkecamuk dalam dirinya. Di hadapannya, segelas Kahawa Wuna yang tinggal setengah tak lagi mengeluarkan aroma kopi khas kampung halamannya. Ia memandang gelas itu dengan pikiran yang terpecah antara harapan dan ketakutan akan masa depan.
“Pilih jalan mana?” gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Meski baru menyelesaikan sekolah, pertanyaan itu seperti duri yang tak kunjung hilang dari benaknya. Setiap langkah yang ia rencanakan selalu diiringi kecemasan yang menekan.
Seperti ombak lautan yang menghantam karang, pikirannya menghempas keras. Berbagai ide berlalu-lalang, tapi selalu dibayangi kegagalan. Otaknya dipenuhi kilasan gambar tentang usahanya yang jatuh, keluarganya yang kecewa, dan mimpinya yang hancur berkeping-keping. Pikiran itu menggelayut, menari-nari di ambang kesadarannya seperti molekul adenosin yang lambat laun menumpuk, memaksa tubuhnya untuk menyerah pada kelelahan mental.
Namun, kafein dari gelas Kahawa Wuna itu bertindak cepat. Begitu memasuki aliran darahnya, kafein mulai menghalangi reseptor adenosin, memberikan dorongan energi yang tiba-tiba. Seolah melawan dorongan untuk menyerah, kafein tersebut memacu otaknya, menjaga Rizal tetap terjaga dalam pertempuran pikiran. Ia tahu, meskipun tubuhnya terus menerima kafein, masalahnya tidak akan selesai begitu saja.
Kembali ia teringat masa kecilnya di desa pegunungan, di mana ayahnya bekerja keras menanam kopi. Di tanah subur itu, Rizal menyaksikan ayahnya dengan penuh kebanggaan memanen biji kopi. Aroma manis yang berasal dari biji yang matang selalu menjadi favorit Rizal, namun kehidupan petani kopi tidak pernah semanis itu. Harga kopi yang rendah dan ketergantungan pada tengkulak membuat hidup mereka sulit. Meski kerja keras, para petani hanya bisa sekadar bertahan hidup.
Rizal mendesah, otaknya dipenuhi serotonin yang memudar, zat kimia otak yang bertanggung jawab atas rasa kebahagiaan dan ketenangan. Kekurangan serotonin membuat pikirannya semakin gundah, seperti awan tebal yang menutupi langit. Setiap kali ia mencoba berpikir positif, bayangan kegagalan datang menyerbu, merampas setiap percikan harapan.
Dia pernah berpikir untuk membangun usaha kopi sendiri, membeli langsung dari petani, mengolahnya di desa, lalu menjualnya tanpa perantara. Ide itu membara dalam dirinya, sebuah upaya untuk mengangkat derajat petani yang selama ini terjebak dalam siklus kemiskinan. Jika berhasil, bukan hanya ia yang akan merasakan dampaknya, tapi seluruh komunitas di kampungnya.
Namun, pikiran tentang risiko selalu mengusiknya. “Bagaimana jika gagal?” pikirnya lagi. Ketakutan itu seperti reseptor adenosin yang terus-menerus menumpuk, menekan tekadnya. Setiap kali ia mencoba bersemangat, ketakutan itu menghalangi, seperti tubuh yang menuntut tidur ketika adenosin terus terakumulasi.
Gelas Kahawa Wuna itu kini hanya menyisakan sisa-sisa cairan di dasarnya. Sementara kafein berusaha mendorong otaknya untuk tetap berenergi, serotonin yang rendah tak memberi cukup rasa tenang. Tapi kali ini, Rizal memutuskan untuk melawan ketakutannya. Ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin besar rasa takut itu akan membelenggunya.
Dia ingat ucapan ayahnya, “Tanah ini adalah kehidupan kita. Apa yang kamu lakukan hari ini, akan menentukan apa yang akan kamu dapatkan esok.” Kata-kata itu seperti dopamine kecil yang menyelusup di antara reseptor serotonin yang mulai aktif kembali, menyalakan secercah harapan. Dalam hatinya, sebuah suara perlahan muncul,
“Jika aku tak mencoba, aku tak akan pernah tahu.”
Tekad itu, yang lama terkubur di balik lapisan ketakutan, kini mulai tumbuh. Bagai neuron yang terhubung kembali setelah lama terputus, Rizal merasakan energi baru mengalir. Dia tahu, usahanya mungkin tidak akan mudah, tetapi tanpa melangkah, ia tak akan pernah menemukan jawabannya.
Dengan satu helaan napas panjang, dia bangkit dari kursinya, meninggalkan kafe itu dengan langkah yang lebih mantap. Kafein mungkin hanya sementara menghalangi adenosin, tapi dalam hati Rizal, harapan yang baru saja bangkit adalah penggerak sejati. Jalan ke depan mungkin terjal, penuh rintangan dan ketidakpastian, namun ia tahu satu hal, ‘masa depannya adalah miliknya untuk diciptakan’.
Serotonin, adenosin, kafein, semua zat dalam tubuhnya berperang. Tapi kali ini, Rizal yakin, dengan setiap langkah yang ia ambil, dialah yang akan menentukan bagaimana cerita ini akan berakhir.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Ayo trakteer novrizal-r-topa agar bisa terus berkarya https://trakteer.id/novrizalrtopa
Penulis : Novrizal R Topa