oleh: Molesara
Ketua Lembaga Pemerhati ketenagakerjaan Sulawesi Tenggara (Lepnaker Sultra)
FNEWS.ID – Beberapa bulan terakhir, Kabupaten Muna, khususnya di kecamatan-kecamatan seperti Kontu Kowuna, Kabangka, Kabawo, Parigi, dan Marobo, digemparkan oleh aksi jual beli lahan yang dilakukan oleh PT. Krida Agriwisata. Perusahaan ini bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, dengan kantor pusat di Desa Bea, Kecamatan Kabawo. Keberadaan kantor yang terletak di pusat wilayah Kabawo Raya dan Parigi Raya tentu memiliki alasan strategis, yakni memudahkan identifikasi dan penguasaan lahan-lahan milik masyarakat setempat.
Dalam hal harga, tanah yang dibeli oleh investor ini tergolong sangat murah, berkisar antara lima hingga sepuluh juta rupiah per hektare. Dengan harga yang relatif terjangkau ini, PT. Krida Agriwisata berhasil menguasai hampir seluruh lahan kosong di tiga wilayah besar tersebut. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar bagi keberlanjutan generasi mendatang, di mana masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan lahan untuk berkebun, bahkan untuk bermukim. Mengingat jumlah penduduk yang terus berkembang, kebutuhan akan lahan menjadi sangat mendesak. Ditambah dengan dampak lingkungan yang besar akibat ekspansi perkebunan sawit, yang bisa merusak ekosistem dan merusak alam.
Namun, selain dampak sosial dan lingkungan yang sudah jelas terlihat, penulis melihat ada hal lain yang harus diperhatikan dalam kasus ini. Jangan sampai masuknya PT. Krida Agriwisata hanya sekedar menjadi “judul” yang menutupi tujuan yang lebih besar. Sebagai perusahaan besar, mereka tentu memiliki target lebih dari sekedar menanami lahan dengan kelapa sawit. Ada kemungkinan bahwa di balik pembelian lahan ini, ada rencana lain yang lebih menguntungkan secara jangka panjang—terutama mengingat potensi alam yang sangat besar di wilayah-wilayah tersebut.
Sebagai contoh, di Desa Lamanu, Kecamatan Parigi, terdapat kandungan emas, minyak, biji besi, dan bahkan ada Gudang tempat penyimpanan harta leluhur. Begitu pula di Desa Oelongko, Kecamatan Bone, yang sempat menghebohkan masyarakat setempat beberapa tahun lalu karena kandungan nikel yang ada di sana. Tidak hanya itu, di Desa Bone Tondo, terdapat kandungan limestone, emas, dan marmer yang sangat berharga. Di Kecamatan Marobo, ada juga potensi besar berupa kandungan emas, nikel, dan sebuah Gudang yang menjadi tempat penyimpanan harta leluhur, yang menurut cerita masyarakat setempat, menjadi cikal bakal nama “Guda” yang berarti Gudang.
Kandungan sumber daya alam yang melimpah ini tentu sangat menggiurkan bagi para investor. Jika lahan yang telah dibeli oleh PT. Krida Agriwisata sudah sepenuhnya dikuasai, kemungkinan besar aktivitas lain yang lebih besar dari sekedar perkebunan kelapa sawit bisa terjadi, seperti eksploitasi sumber daya alam yang dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.
Oleh karena itu, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam memutuskan untuk menjual lahannya. Jangan mudah tergoda oleh iming-iming uang atau tekanan dari oknum pemerintah desa yang mungkin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi. Pemerintah daerah juga perlu lebih serius dalam memantau dan mengkaji dampak dari masuknya investor besar seperti PT. Krida Agriwisata, agar tidak terjadi pemaksaan penjualan lahan yang merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
Sebagai solusi yang lebih bijaksana, penolakan terhadap masuknya PT. Krida Agriwisata di Kabupaten Muna adalah langkah yang harus dipertimbangkan. Sebaiknya biarkanlah lahan-lahan masyarakat tetap menjadi lahan produksi oleh pemiliknya sendiri, yang lebih memahami dan menjaga kelestarian tanah mereka. Dengan demikian, generasi mendatang akan memiliki hak atas tanah mereka sendiri, dan alam sekitar akan tetap terjaga untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih baik.