Oleh: Novrizal R. Topa
(Purna Pengurus Ikatan Remaja Muhammadiyah/IRM Kabupaten Muna)
FNEWS.ID – Di tengah pekatnya awan kolonialisme yang menyelimuti Nusantara pada awal abad ke-20, Pulau Muna tak luput dari arus penjajahan dan misi terselubung kristenisasi yang dilancarkan oleh Zending dengan dukungan pemerintah kolonial Belanda. Dalam situasi demikian, muncullah sosok La Kare atau Lade Kare bin Lade Gamara, seorang guru dari Kondongia, pejuang, dan kader awal Muhammadiyah yang kelak menjadi pionir jihad intelektual di tanah Muna. Ia bukan hanya sekadar mendidik, tetapi juga melawan lewat jalan sunyi: pendidikan.
Api Perjuangan di Tengah Kepungan Zending
Muhammadiyah pertama kali hadir di Muna pada tahun 1930, dipelopori oleh tokoh dari luar seperti Zainuddin Daeng Mandrapi dari Makassar, serta tokoh lokal seperti Abdul Kadir, La Kare, La Ati, La Buntu, dan La Mane. Gerakan ini datang sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah Kristen dan Katolik di pedalaman Muna, seperti di Lasehao pada tahun 1918/1919. Sekolah-sekolah ini menjadi pintu masuk bagi misi kristenisasi di tanah Muna.
Sebagai respon terhadap kondisi tersebut, La Kare bersama rekan-rekannya mendirikan sekolah Muhammadiyah di Mabolu pada tahun 1932. Pendirian ini bukan sekadar sarana pendidikan, melainkan benteng perlawanan terhadap dominasi ideologis kolonial dan pemurtadan yang mengintai generasi muda. Sekolah di Mabolu dibuka untuk siapa saja, mengajarkan ilmu pengetahuan umum di siang hari dan agama Islam di sore hari. Ini adalah bentuk pendidikan yang membebaskan sekaligus membentengi akidah.
Dari Guru Bangsa Menjadi Tahanan Politik
Namun perjuangan La Kare dan tokoh-tokoh Muhammadiyah tidak berjalan mulus. Pemerintah kolonial Belanda mencurigai gerakan ini sebagai bentuk penghasutan terhadap rakyat. Apalagi mulai muncul istilah-istilah rahasia seperti “Leokata” (lawan orang Eropa karena tidak adil) dan “Kaneko kas Nederkand” (kosongkan negeri Belanda). Kekhawatiran kolonial semakin meningkat ketika gerakan kepanduan Hizbul Wathan dibentuk, dipimpin oleh La Ati, Bakarang, dan La Mane, sebagai wadah pembinaan karakter dan nasionalisme pemuda.
Akibatnya, La Kare ditangkap dan dipenjara selama dua bulan di Raha. Ia kemudian diasingkan ke Makassar selama enam bulan, ke Selayar selama dua tahun, dan ke Bulukumba selama empat tahun. Total, ia mengalami kurungan selama enam tahun enam bulan. Pengorbanan itu tidak mematahkan semangatnya, justru mempertegas tekad bahwa pendidikan adalah jalan panjang menuju kemerdekaan sejati.
Jejak yang Tak Terhapus Zaman
Meski bangunan sekolah Muhammadiyah yang dirintis La Kare mungkin telah tiada, jejak perjuangannya tetap hidup dalam memori sejarah dan ruh masyarakat Muna. Ia tidak hanya menciptakan ruang belajar, tetapi juga ruang kesadaran. Ia bukan hanya mendirikan sekolah, tetapi membangkitkan keberanian untuk bermimpi tentang masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Dengan menggandeng tokoh-tokoh lokal seperti La Mane, Bakarang, La Ode Buntu, La Kanila, La Padoi, hingga La Ode Rauf, La Kare menjadi simpul gerakan yang menyinari banyak pelosok desa. Gerakan mereka tak berbekal dana besar atau fasilitas mewah, melainkan semangat dakwah, kecintaan pada Islam, dan tekad kolektif masyarakat. Mereka membangun kesadaran dari akar rumput, kesadaran tentang harga diri, akidah, dan kecintaan pada tanah air.
Warisan yang Patut Dikenang
La Kare atau Lade Kare bin Lade Gamara, seorang putra dari Kondongia adalah bagian dari sejarah kebangkitan Islam dan nasionalisme di Muna. Ia layak dikenang sebagai lentera yang menerangi jalan dalam kegelapan penjajahan. Bersama rekan-rekannya, ia menolak tunduk dan memilih berdiri dengan pena, papan tulis, dan keteguhan hati.
Setelah masa-masa sulit tahun 1934 yang ditandai dengan penangkapan dan pengasingan para tokoh Muhammadiyah, gerakan ini sempat meredup. Hingga akhirnya, pada tahun 1963, tongkat estafet perjuangan kembali diangkat oleh La Ode Abdul Khalik, keturunan bangsawan Muna dan anak dari raja terakhir, La Ode Pandu. Beliau mendirikan SMP Muhammadiyah di Raha pada tahun 1968 dan menghidupkan kembali semangat dakwah pendidikan Islam yang telah dirintis La Kare beberapa dekade sebelumnya.
Di era sekarang, ketika akses pendidikan semakin terbuka dan tantangan ideologis hadir dalam bentuk yang lebih kompleks, kisah La Kare atau Lade Kare bin Lade Gamara menjadi pengingat penting: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kelas kecil, dengan niat yang besar, dan cinta yang dalam pada agama dan bangsa.