Oleh: Patti Hadi
(Ketua Ormas FKPPI Kabupaten Muna)
FNEWS.ID, MUNA – Raha adalah ibu kota Kabupaten Muna, sebuah daerah di Sulawesi Tenggara yang kaya akan adat, budaya, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Di balik sederet tradisi dan kearifan lokalnya, Muna memiliki identitas kuat, termasuk penghormatan tinggi terhadap perempuan yang dikenal dengan sebutan Kalambe Wuna. Maka, ketika seorang perempuan berinisial DG mengeluarkan pernyataan bernada hinaan terhadap gadis-gadis Raha dalam siaran langsung di media sosial, publik Muna bereaksi keras.
Candaan yang menyebut bahwa “gadis-gadis Raha jelek-jelek” bukan sekadar ucapan sembrono, tetapi telah melukai martabat komunitas adat. Terlebih, pernyataan tersebut disampaikan dalam nada mengejek bersama dua rekannya dan menyebar luas hingga memicu amarah publik.
Mencederai Martabat Perempuan Muna
Sebutan “Kalambe Wuna” bukanlah istilah biasa. Ia melekat pada identitas perempuan Muna yang dijunjung tinggi melalui berbagai tradisi luhur, salah satunya adalah Karia atau Kaghombo. Tradisi ini tidak sekadar seremoni adat, melainkan proses sakral yang mempersiapkan seorang perempuan dalam menyongsong kedewasaan, menjadi istri, dan kelak menjadi ibu yang bijak serta bermartabat.
Dalam Karia, seorang gadis dikurung (dipingit) selama waktu tertentu untuk dibimbing secara spiritual, etika, dan moral. Prosesi ini bahkan dilengkapi dengan mandi penyucian dan tarian Linda, yang menyimbolkan pembersihan lahir dan batin. Maka, mengolok-ngolok perempuan Muna sama dengan menghina sebuah sistem nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
“Candaan” yang Menyinggung Marwah
DG mungkin menganggap ucapannya hanyalah “candaan” spontan. Namun, candaan yang merendahkan martabat orang lain bukanlah candaan, melainkan penghinaan terselubung. Kata-kata itu menjadi viral dan menciptakan luka kolektif. Rasa amarah yang muncul di tengah publik bukanlah karena kelebihan emosi, tetapi karena adanya pelanggaran martabat. Bahkan setelah permintaan maaf disampaikan, bekas luka dari penghinaan itu tidak serta-merta hilang begitu saja.
Dalam Perspektif Islam: Jaga Lisan, Jaga Kehormatan
Islam menegaskan larangan menghina orang lain dalam banyak ayat dan hadis. Surah Al-Hujurat ayat 11 dengan tegas mengingatkan bahwa jangan ada kaum yang mengolok kaum lain, karena bisa jadi yang dihina lebih baik dari yang menghina. Rasulullah SAW juga bersabda bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya dan tidak boleh menghina atau menzalimi saudaranya sendiri.
Penghinaan bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral dan spiritual. Lisan adalah cermin akhlak, dan dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari iman.
Saatnya Belajar dan Berbenah
Kasus DG seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Dunia digital bukan ruang bebas tanpa batas. Ia adalah ruang publik yang menuntut tanggung jawab etika, moral, dan sosial.
Mari kita jadikan momen ini sebagai refleksi: bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita, apalagi disiarkan ke publik, memiliki dampak besar, bisa menyatukan, bahkan bisa juga menyakiti. Dan ketika yang disakiti adalah kehormatan suatu budaya, maka luka yang ditinggalkan bukan sembarang luka. Ia adalah tamparan bagi seluruh nalar kita tentang arti menghargai keberagaman.