FNEWS.ID, JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN Permahi) menilai Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) belum maksimal menegakkan aturan terkait aktivitas pertambangan di kawasan konsesi nikel PT Tomia Mitra Sejahtera (TMS) di Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Ketua Umum DPN Permahi, Fahmi Namakule, menegaskan bahwa hingga kini Satgas PKH belum menunjukkan keseriusan dalam menjalankan mandatnya. Hal ini terlihat dari dugaan masih berlangsungnya aktivitas pertambangan di kawasan yang telah disegel.
“Hemat kami, langkah-langkah konkret dari Satgas PKH PT TMS Sultra yang dipimpin langsung oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, belum berjalan sesuai Kepres RI No. 5 Tahun 2025 dan tujuan pembentukannya,” kata Fahmi dalam keterangannya.
Menurut Fahmi, penertiban kawasan hutan harus dilakukan secara tegas dan sesuai regulasi. Dalam Kepres No. 5 Tahun 2025 Pasal 3 disebutkan bahwa penertiban dilakukan melalui penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset.
“Ketentuannya sangat jelas. Selain penagihan denda kepada PT TMS, Satgas juga wajib melakukan penguasaan kembali kawasan hutan dan pemulihan aset. Namun fakta di lapangan menunjukkan perintah pasal tersebut tidak dilaksanakan sepenuhnya,” ujarnya.
Fahmi menduga masih terdapat aktivitas pertambangan di lokasi tersebut meski Satgas PKH telah memasang segel. Ia mendorong Satgas bertindak tegas agar kerugian negara tidak semakin besar dan hak masyarakat tidak terabaikan.
“Satgas PKH memiliki peran vital menertibkan aktivitas pertambangan nikel ilegal yang merugikan negara secara masif. Jika tidak serius, publik bisa kehilangan kepercayaan dan ini dapat memicu gesekan kepentingan saat penindakan,” tegasnya.
Fahmi juga menyoroti bahwa PT TMS melakukan aktivitas pertambangan tanpa mengantongi izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sehingga hal tersebut tidak boleh dibiarkan.
Kritik terhadap Satgas PKH juga datang dari Jaringan Aktivis Anoa Nusantara, melalui koordinatornya, Alkindi. Ia menilai penyegelan yang dilakukan Satgas PKH terhadap konsesi pertambangan PT TMS masih menyisakan tanda tanya.
Penyegelan dilakukan dengan pemasangan plang besi yang menegaskan bahwa areal pertambangan seluas 172,82 hektare berada dalam penguasaan pemerintah c.q Satgas PKH, sesuai Kepres No. 5 Tahun 2025. Namun, Alkindi mempertanyakan kelanjutan proses hukum terkait dugaan penambangan tanpa IPPKH tersebut.
“Ini kan PT TMS melakukan pertambangan tanpa IPPKH, sehingga wajar lahannya disegel Satgas PKH. Tapi kerugian negara itu bagaimana? Kenapa belum ada proses hukum yang berjalan?” kata Alkindi, Selasa (2/12/2025).
Ia menegaskan bahwa selain penyegelan, semestinya ada proses lanjutan yang menyentuh aspek pidana, termasuk perhitungan kerugian negara, penanggung jawab, hingga penerima manfaat dari aktivitas ilegal tersebut.
“Hingga hari ini belum ada satu pun pihak yang bertanggung jawab atas dugaan kerugian negara. Satgas PKH justru terkesan vakum,” lanjutnya.
Menurut Alkindi, dugaan kerugian negara akibat aktivitas PT TMS diperkirakan mencapai Rp 9 triliun hingga Rp 9,5 triliun, terutama akibat penambangan ilegal di kawasan hutan dan potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor pertambangan.
“Penambangan ilegal ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi berdampak besar pada hilangnya pendapatan negara. Semua harus dibuka secara transparan oleh aparat penegak hukum,” tegas Alkindi.
Baik Permahi maupun Jaringan Aktivis Anoa Nusantara sama-sama menuntut Satgas PKH untuk bekerja lebih transparan dan tegas dalam menangani dugaan pelanggaran oleh PT TMS. Mereka menilai keseriusan penindakan sangat penting untuk memastikan pemulihan lingkungan, perlindungan hak masyarakat, serta penyelamatan aset negara.
Hingga berita ini diterbitkan, Satgas PKH maupun pihak PT TMS belum memberikan keterangan resmi terkait sorotan yang disampaikan kedua organisasi tersebut.
Penulis : Novrizal R Topa
Editor : Redaksi









