Dan setiap kali ia mengingat pelajaran dari Pak Mangun, Jaka tersenyum, bersyukur atas kebijaksanaan sederhana namun mendalam dari ilmu tebu: semakin tua, semakin manis.
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh kebun tebu sejauh mata memandang, hidup seorang lelaki tua bernama Pak Mangun. Orang-orang di desa menghormatinya sebagai sosok yang bijak, walaupun ia tidak memiliki harta melimpah atau kekuasaan. Namun, ada satu hal yang membuat Pak Mangun berbeda, ia memiliki ilmu tebu.
Setiap pagi, Pak Mangun selalu berjalan di antara deretan batang-batang tebu yang tinggi. Dengan sabar, ia memperhatikan setiap perubahan kecil pada tanaman-tanamannya. Tebu-tebu itu sudah menjadi teman setianya, seakan mereka berbicara dengannya tentang kehidupan, tentang bagaimana segala sesuatu memerlukan waktu untuk mencapai keindahannya yang sesungguhnya.
Di desa itu, hidup juga seorang pemuda bernama Jaka. Ia ambisius, cerdas, tapi kurang sabar. Jaka sering merasa gelisah, ingin segera meraih kesuksesan besar tanpa perlu menunggu lama. Ia bermimpi untuk kaya, dihormati, dan menjadi orang besar yang dapat mengubah nasib keluarganya. Setiap hari ia bekerja keras, tapi selalu merasa frustrasi karena hasil yang didapat tak sebanding dengan usahanya.
Suatu hari, Jaka memutuskan untuk menemui Pak Mangun. Banyak orang bilang, Pak Mangun punya rahasia dalam hidupnya, rahasia kesuksesan yang tak pernah ia bagi kepada sembarang orang. Dengan penuh harapan, Jaka mengetuk pintu rumah kayu sederhana Pak Mangun.
“Masuklah, Jaka. Aku tahu apa yang kau cari,” sambut Pak Mangun sambil tersenyum.
Jaka merasa terkejut. “Pak, bagaimana Anda tahu apa yang saya inginkan?”
Pak Mangun tersenyum kecil, seolah sudah mengenali kekalutan yang ada di hati pemuda itu.
“Kau ingin cepat sukses, bukan? Ingin hidupmu lebih manis dan dihormati orang lain. Tapi kau merasa semua itu terlalu lambat datangnya.”
Jaka mengangguk. “Benar, Pak. Saya sudah bekerja keras, tapi kenapa hasilnya tak secepat yang saya harapkan? Saya ingin menjadi orang besar sekarang.”
Pak Mangun bangkit dari tempat duduknya dan mengajak Jaka keluar. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun tebu yang luas. Angin bertiup sepoi-sepoi, dan daun-daun tebu yang hijau berdesir lembut.
“Lihatlah kebun tebu ini,” kata Pak Mangun. “Tebu yang baru tumbuh terlihat segar dan hijau, tapi kau tahu, tebu muda itu belum menghasilkan manisnya yang kita harapkan. Kita tidak bisa langsung memanen tebu muda, karena rasanya masih hambar.”
Pak Mangun berhenti di depan deretan tebu yang lebih tua. Batang-batangnya lebih kokoh, warnanya lebih gelap, dan beberapa sudah mulai menguning.
“Inilah tebu yang siap dipanen, Jaka. Semakin tua, tebu ini semakin manis. Ia butuh waktu untuk tumbuh dan menyerap sari pati kehidupan dari tanah, air, dan matahari. Sama seperti manusia, Jaka. Kebijaksanaan, kesuksesan, dan kematangan tidak datang dengan cepat. Mereka tumbuh seiring dengan waktu, seiring dengan pengalaman hidup yang kita lalui. Jika kita terlalu terburu-buru, kita akan memetik tebu yang masih muda, dan manisnya belum terasa.”
Jaka terdiam. Kata-kata Pak Mangun seolah menembus pikirannya yang selama ini dipenuhi ambisi tanpa kesabaran. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya selama ini terlalu terburu-buru, ingin mencapai hasil besar tanpa menikmati prosesnya.
“Tapi Pak, bagaimana saya bisa tahu bahwa waktu saya tidak terbuang sia-sia? Bagaimana saya bisa yakin bahwa kesabaran akan membawa saya ke tempat yang saya inginkan?” tanya Jaka.
Pak Mangun tersenyum lagi, kali ini lebih dalam. “Kesabaran, Jaka, bukan berarti menunggu tanpa berbuat apa-apa. Kesabaran adalah tentang belajar, beradaptasi, dan terus memperbaiki diri. Kau lihat tebu ini? Mereka terus tumbuh, menyerap nutrisi dari alam. Mereka tidak berhenti, meskipun prosesnya lambat. Kau juga harus begitu. Teruslah belajar, teruslah bekerja keras, tapi jangan berharap hasil instan. Jika kau mengerti bahwa semua yang bernilai memerlukan waktu, kau tidak akan pernah merasa sia-sia.”
Jaka memandang tebu-tebu itu, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kehidupan dengan cara yang berbeda. Sejak hari itu, ia mulai mengubah caranya bekerja. Ia tetap bekerja keras, tapi kali ini dengan kesabaran yang lebih mendalam. Ia mulai menikmati proses belajarnya, menyerap setiap pengalaman seperti tebu menyerap air dan cahaya matahari.
Waktu berlalu. Tahun demi tahun, Jaka tumbuh menjadi sosok yang bijaksana dan dihormati, bukan karena kekayaannya, tapi karena kedewasaannya dalam menjalani hidup. Ia tidak lagi mengejar kesuksesan dengan terburu-buru, karena ia telah belajar bahwa seperti tebu, hidup harus dinikmati dan dipahami tahap demi tahap.
Pada akhirnya, hidup Jaka pun menjadi manis, seperti tebu yang semakin tua. Dan setiap kali ia mengingat pelajaran dari Pak Mangun, Jaka tersenyum, bersyukur atas kebijaksanaan sederhana namun mendalam dari ilmu tebu: semakin tua, semakin manis.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa
Editor : Redaksi