Oleh: Ridwan Hanafi, Direktur Eksekutif Daulat Energy
“Evaluasi terhadap PLTU Suralaya terutama unit-unit tua harus menjadi prioritas. Transformasi energi tidak bisa berjalan setengah hati”
Di tengah komitmen nasional untuk melakukan transisi energi dan menekan laju emisi karbon, kebijakan terhadap pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU Suralaya perlu ditinjau ulang secara strategis.
Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan secara serius adalah mothballing, yaitu penghentian sementara operasi unit pembangkit sambil tetap melakukan pemeliharaan yang minimal namun optimal, sehingga dapat diaktifkan kembali bila diperlukan.
Pendekatan ini memberikan ruang bagi efisiensi anggaran sekaligus memberi peluang bagi sistem untuk beradaptasi terhadap dinamika pasokan dan permintaan energi ke depan.
Usia dan performa PLTU Suralaya pun nampaknya akan jadi pertimbangan serius. Tentu karena PLTU Suralaya yang telah beroperasi lebih dari 40 tahun, khususnya Unit 1 hingga 4, saat ini menghadapi berbagai tantangan.
Dari sisi teknis, performa unit-unit tersebut cenderung mengalami penurunan akibat penuaan peralatan yang secara langsung berdampak pada efisiensi dan biaya operasional yang semakin tinggi (high cost operation). Konsumsi dan inventory bahan bakar yang tidak lagi optimal, tingginya biaya perawatan, serta peningkatan emisi membuat pembangkit ini semakin tidak kompetitif di era transisi energi.
Dengan kondisi seperti ini, melanjutkan operasional PLTU Suralaya secara penuh justru berisiko menjadi beban bagi PLN, baik dari sisi keuangan maupun reputasi lingkungan. Maka, skema mothballing menjadi alternatif solusi yang cerdas—tidak tergesa-gesa mem-pensiun-kan unit, namun memberi waktu untuk mengkaji strategi utilitas yang lebih efisien dan sesuai konteks energi nasional.
Di sisi lain, pulau Jawa kini menyaksikan kemunculan beberapa pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mulai beroperasi secara signifikan. Keberadaan pembangkit-pembangkit ini semakin memperkuat argumentasi untuk menonaktifkan sementara PLTU yang boros dan polutif. Berikut beberapa pembangkit EBT yang telah beroperasi:
PLTS Terapung Cirata di Purwakarta, dengan kapasitas 192 MWp, telah resmi beroperasi sejak November 2023. Selain menyediakan energi bersih untuk sekitar 50.000 rumah tangga, proyek ini juga mampu mengurangi emisi karbon hingga 214.000 ton per tahun.
PLTA Jatigede di Sumedang, berkapasitas 2 x 55 MW, mulai beroperasi awal 2025. Pembangkit ini menandai babak baru sinergi energi bersih dengan pihak asing, termasuk kolaborasi dengan Masdar (UEA) untuk mengembangkan PLTS terapung di Waduk Jatigede.
PLTA Saguling di Bandung Barat, memiliki total kapasitas 844,36 MW, dengan dukungan 7 sub-unit aktif yang menjamin keandalan pasok energi bersih.
PLTA Rajamandala di Cianjur, dengan kapasitas 47 MW, secara konsisten menyuplai 496 MWh listrik per hari dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi nasional.
Baca juga:Â Revolusi Energi Bersih dari Pantai Selatan
Kehadiran infrastruktur ini membuktikan bahwa sistem kelistrikan nasional khususnya di Jawa telah siap untuk mengurangi ketergantungan pada PLTU lama yang tidak lagi efisien. Kalaupun masih mengandalkan PLTU Batubara, wajar memilih PLTU yang lebih baru dengan teknologi modern, sehingga penggunaan batubara lebih efisien dan rendah emisi karbon.
Jika pemerintah serius dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya Kedaulatan Energi, maka saatnya dilakukan langkah konkret menata ulang peta jalan sektor ketenagalistrikan. Evaluasi terhadap PLTU Suralaya—terutama unit-unit tua harus menjadi prioritas. Transformasi energi tidak bisa berjalan setengah hati.
Selain itu, perlu dicermati bahwa saat ini Indonesia masih terikat dalam kerangka Paris Agreement, meskipun Amerika Serikat sebagai inisiator pernah secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan betapa labilnya komitmen global, dan menguatkan argumen bahwa kebijakan nasional harus dibangun berdasarkan prinsip kemandirian dan rasionalitas ekonomi, bukan semata tekanan geopolitik.
Skema mothballing memberikan waktu bagi PLN dan pemerintah untuk menyusun ulang strategi energi tanpa menimbulkan gangguan pasok listrik secara ekstrem. Selain memberi ruang bagi teknologi EBT mengambil porsi lebih besar dalam bauran energi, pendekatan ini juga memungkinkan efisiensi keuangan dengan memangkas biaya operasional tinggi dari “PLTU Tua”.
PLTU Suralaya tetap dapat difungsikan kembali bila sewaktu-waktu diperlukan, seperti saat beban puncak meningkat atau terjadi gangguan sistemik. Namun hingga saat itu tiba, lebih bijak untuk mengistirahatkan sementara aset tersebut demi mendukung efisiensi, kesehatan publik, dan transisi energi yang berkelanjutan.
Desakan mempensiunkan PLTU Suralaya sebenarnya bukan hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan sempat menyuarakan hal tersebut demi menekan polusi udara yang sangat membebani masyarakat Jabodetabek. Bahkan, ia menyebut bahwa biaya kesehatan akibat polusi dari PLTU mencapai Rp 38 triliun per tahun—angka yang jauh lebih tinggi dibanding penghematan yang bisa diperoleh dari efisiensi pembangkit.
Jika masalah itu terus dibiarkan, maka biaya yang ditanggung negara, baik secara fiskal maupun sosial, akan terus meningkat. Mothballing adalah pilihan tengah yang logis tidak terlalu radikal, namun cukup progresif untuk menunjukkan bahwa Indonesia siap berubah.