“Ia dihadapkan pada dilema besar antara mengamankan masa depan keluarganya dengan menjaga kehormatan dan integritasnya”
Di sebuah kota kecil bernama Djarum, Pilkada semakin dekat. Spanduk-spanduk penuh warna menghiasi setiap sudut jalan, sementara calon-calon pemimpin tersenyum lebar di atas poster-poster besar yang menjanjikan perubahan, keadilan, dan kemakmuran. Namun, di balik janji-janji itu, roda ekonomi kota berputar dengan irama yang tak kasat mata: politik uang.
Pak Vrizal, seorang kepala desa yang dihormati, tahu betul betapa rapuhnya demokrasi di daerahnya. Ia duduk di teras rumah kayunya, memandang hampa pada tumpukan amplop cokelat yang baru saja diantarkan seorang pria berjas rapi. Amplop-amplop itu penuh dengan sejumlah besar uang tunai yang bisa mengubah hidup banyak orang. Namun, Pak Vrizal tak bisa memutuskan. Ia dihadapkan pada dilema besar antara mengamankan masa depan keluarganya dengan menjaga kehormatan dan integritasnya.
Di pasar, perbincangan hangat tentang Pilkada tak terhindarkan. Pedagang kecil, buruh kasar, hingga petani semuanya terlibat. Tapi di balik kegembiraan dan antusiasme itu, ada kenyataan pahit: uang mulai menggerakkan banyak hal.
“Para kandidat bersaing bukan hanya dengan program dan gagasan, tetapi dengan seberapa banyak uang yang bisa mereka sebarkan di kantong rakyat”.
Pak Surya, seorang petani sederhana, menjadi salah satu korban sistem ini. Dia baru saja menerima amplop dari tim sukses salah satu calon. Di dalamnya terdapat uang yang cukup untuk membayar utang pupuknya selama beberapa bulan. Ketika ditanya, Pak Surya hanya bisa tersenyum masam.
“Apa yang bisa kita lakukan?” katanya kepada tetangganya. “Semua orang butuh uang. Kalau kita tak terima, tetangga lain yang dapat.”
Sementara itu, di balik layar, ekonomi kota Djarum seolah menggeliat. Uang mengalir deras, tetapi tidak dalam bentuk yang nyata. Proyek-proyek janji manis mulai digaungkan, pembangunan jalan, sekolah baru, fasilitas kesehatan. Tapi, semua hanyalah ilusi.
Di posko induk salah satu kandidat, Tim Sukses tengah menghitung berapa banyak lagi uang yang harus mereka keluarkan. Setiap daerah pemilihan dihitung dengan cermat, untuk berapa banyak suara yang bisa dibeli, berapa besar pengaruh yang harus digenggam.
“Mereka tahu, dalam permainan ini, yang paling penting bukanlah gagasan atau program, melainkan siapa yang memiliki uang terbanyak”.
Di hari pemungutan suara, suasana kota menjadi tegang. Orang-orang mendatangi TPS dengan wajah yang penuh keraguan, meskipun di kantong mereka ada sisa-sisa uang dari amplop yang diberikan sebelumnya.
Semuanya tahu, bahwa keputusan mereka tak lagi murni, tergantung pada uang yang sudah masuk ke rumah mereka. Dan ketika hasil akhir diumumkan, pemenang bukanlah mereka yang memiliki visi terbaik, melainkan mereka yang telah berhasil membeli suara rakyat.
Pak Vrizal duduk diam di depan rumahnya, memandangi hasil Pilkada di layar televisi tua. Uang telah menggerakkan segalanya, membuat ekonomi kota bergerak cepat, namun tak ada satu pun perubahan nyata yang ia rasakan. Uang itu berputar, tetapi hanya mengisi kantong-kantong tertentu.
Dana-dana yang dijanjikan entah hilang ke mana, dan proyek-proyek itu hanya muncul di atas kertas. Penampakkan sebuah ekonomi semu yang tidak pernah terealisasi.
“Janji-janji manis telah menguap, dan Djarum tetap terjebak dalam putaran semu yang tak berujung. Sementara itu, di tengah kota, spanduk-spanduk yang dulu penuh warna mulai memudar”.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa