“Selama ini, kita sudah terlena. Tokoh adat adalah penjaga desa, mereka yang mengarahkan kita, yang menjadi penengah saat kita berselisih, yang memberi restu saat kita menikah, bahkan memimpin kita ke peristirahatan terakhir. Tapi apa yang mereka dapatkan? Tak ada! Pemerintah terus saja melupakan mereka!” Suara Daksa menggema, membuat hadirin saling berpandangan.
Malam itu, angin dingin berhembus di Desa Tangkebalo, membawa desah lembut dedaunan. Namun di ruang kerja Pemerhati Budaya, suasana jauh dari tenang. Adalah Daksa, ketua Pemerhati Budaya, duduk di depan meja kayu tuanya, tatapannya tajam mengarah ke peta desa yang tergantung di dinding. Bukan soal keamanan yang mengganggunya malam itu, melainkan nasib para tokoh adat, penjaga tradisi yang seakan terlupakan oleh pemerintah.
“Dalam diam, mereka yang memelihara desa ini,” gumam Daksa pelan, meremas tangan di atas meja. Sejak ia pertama kali bertugas di desa ini, ia menyaksikan sendiri betapa sentralnya peran tokoh adat dalam menjaga tatanan sosial. Mereka menjadi juru damai saat perselisihan tanah memanas, mereka yang memimpin upacara adat, dari pernikahan hingga kematian. Namun, ironisnya, orang-orang yang berdiri di garis depan kehidupan desa ini hidup dalam kekurangan. Tak ada bantuan, tak ada penghargaan yang setimpal.
Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Pak Gading, tokoh adat tertua desa, masuk dengan langkah pelan. Wajahnya penuh guratan usia, namun mata tuanya masih menyala penuh kebijaksanaan. “Ada yang ingin dibicarakan, pak ketua,”
Daksa menghela napas berat. “Pak Gading, saya tak bisa diam saja lagi. Sudah terlalu lama tokoh adat seperti Bapak tidak diperhatikan. Saya telah berusaha mengajukan masukan kepada pemerintah, tapi suaramu, suara kalian, terus saja diabaikan.”
Pak Gading tersenyum tipis. “Kami sudah terbiasa hidup sederhana, Nak Daksa. Kami bekerja bukan untuk imbalan, melainkan untuk menjaga warisan nenek moyang.”
“Tapi ini tidak bisa terus begini!” Daksa berdiri, suaranya bergetar. “Peran Bapak dan tokoh adat lainnya lebih besar daripada yang disadari banyak orang. Kalian yang menjaga harmoni di desa, menyelesaikan konflik, bahkan mengurus upacara kematian. Bagaimana mungkin kalian dibiarkan tanpa dukungan?”
Pak Gading hanya menunduk. Dalam diamnya, ada beban ribuan tanggung jawab yang dipikul dengan ikhlas.
Malam itu, tekad Daksa semakin bulat. Ia tahu perjuangannya untuk tokoh adat tak akan mudah. Keesokan harinya, Daksa memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih drastis. Ia mengumpulkan semua tokoh adat dan warga desa di balai desa. Dalam suasana tegang, ia berbicara lantang, menggugah kesadaran semua yang hadir.
“Selama ini, kita sudah terlena. Tokoh adat adalah penjaga desa, mereka yang mengarahkan kita, yang menjadi penengah saat kita berselisih, yang memberi restu saat kita menikah, bahkan memimpin kita ke peristirahatan terakhir. Tapi apa yang mereka dapatkan? Tak ada! Pemerintah terus saja melupakan mereka!” Suara Daksa menggema, membuat hadirin saling berpandangan.
Di barisan depan, Pak Gading dan para tokoh adat lainnya duduk diam. Mereka tak terbiasa dengan sorotan semacam ini, tapi mata mereka memancarkan rasa terima kasih yang mendalam.
“Kita harus bergerak bersama!” seru Daksa. “Saya tak bisa sendiri. Kita harus menuntut hak mereka. Saya akan membawa suara desa ini ke pemerintah, tapi saya butuh dukungan kalian. Bukan hanya untuk saya, tapi untuk mereka yang selama ini berjuang dalam diam!”
Riuh tepuk tangan memenuhi balai desa. Warga yang tadinya acuh mulai tersadar, bahwa tanpa tokoh adat, keseimbangan di desa ini akan rapuh. Malam itu menjadi awal perjuangan panjang Daksa.
Bulan berganti, dan perjuangan Daksa tak selalu mulus. Surat-suratnya ke pemerintah sering kali diabaikan, namun ia tak berhenti. Ia menghadiri setiap rapat, menyuarakan pentingnya peran tokoh adat, menuntut agar mereka diakui secara formal dan diberikan kesejahteraan yang layak. Setiap kegagalan justru menguatkan tekadnya.
Hingga suatu hari, sebuah kabar baik tiba. Pemerintah daerah akhirnya merespons desakan Daksa dan masyarakat. Mereka berjanji akan mengkaji kebijakan baru yang memberikan perhatian lebih pada tokoh adat. Untuk pertama kalinya, suara desa kecil itu didengar.
Di suatu sore yang tenang, Pak Gading datang menemui Daksa di kantornya. Dengan mata berkaca-kaca, ia mengucapkan terima kasih. “Perjuanganmu tak sia-sia, Nak Daksa. Apa yang kau lakukan akan diingat oleh desa ini.”
Daksa tersenyum, menatap wajah tua yang penuh kebijaksanaan itu. “Ini bukan hanya tentang kalian, Pak. Ini tentang menjaga warisan dan kehormatan desa kita. Kalian adalah penjaga, dan sudah waktunya kalian dihargai seperti seharusnya.”
Dan sejak hari itu, Daksa tahu, perjuangannya untuk tokoh adat baru saja dimulai. Namun ia percaya, dengan keteguhan hati dan dukungan warga, perubahan besar sedang menanti di depan mata.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa