Senja itu, Rangga baru saja menutup berkas terakhir di meja kerjanya ketika seorang perempuan muda masuk ke ruangannya. Raut wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan kelelahan dan ketakutan. Namanya Melati, dan ceritanya membuat Rangga tertegun.
Melati adalah korban kawin kontrak, kawin singkat dengan pria asing, diatur oleh orang tak dikenal, lalu ditinggalkan tanpa hak atau kepastian. Di balik janji hidup yang nyaman, yang ia dapatkan hanyalah penghinaan, pengkhianatan, dan ketakutan. Dengan suara lirih, Melati memohon bantuan. Ini bukan hanya tentang uang atau status, katanya; ini soal harga dirinya yang telah diinjak-injak.
Bagi Rangga, kasus ini terasa seperti tamparan. Di tengah kerasnya sistem hukum yang tak sepenuhnya berpihak pada mereka yang tak punya kuasa, ia sadar tantangan besar menanti. Tapi hatinya terusik, dan ia pun menerima kasus ini, dengan janji dalam hati: ia akan menegakkan keadilan, meskipun harus bertaruh segala yang ia punya.
Menelusuri Jejak Gelap
Rangga mulai menyelidiki jejaring kawin kontrak ini, berusaha mencari siapa dalang sebenarnya di balik praktik yang memakan korban perempuan muda seperti Melati. Tak mudah baginya untuk mendapatkan informasi; para pelaku kawin kontrak telah lama beroperasi dalam bayang-bayang, bergerak diam-diam di antara aturan dan celah hukum.
Ia menemui banyak rintangan, mulai dari ancaman hingga tekanan dari berbagai pihak, termasuk mereka yang memiliki kuasa. Bahkan, ketika ia berhasil mendapatkan saksi yang bersedia berbicara, ancaman datang menghampiri mereka, membuat beberapa di antaranya memilih mundur.
Namun Rangga tak mundur. Ia semakin bertekad, terutama ketika menemukan bukti-bukti bahwa kawin kontrak ini telah menjadi industri yang melibatkan banyak pihak, mulai dari biro pernikahan ilegal hingga pejabat yang korup.
Di Persimpangan Dilema
Saat pengusutan makin dalam, Rangga mulai merasakan tekanan mental yang hebat. Tekanan datang bukan hanya dari para pelaku kawin kontrak, tapi juga dari lingkungannya sendiri. Beberapa teman sejawatnya mulai meragukan pilihannya; mengapa repot-repot memperjuangkan kasus yang dianggap remeh oleh sebagian besar orang? Bahkan, salah seorang rekannya sempat berkata,
“Kau buang-buang waktu, Rangga. Mereka hanya perempuan-perempuan malang yang terjebak pilihan mereka sendiri.”
Tapi Rangga tahu bahwa ini bukan tentang salah atau benar di mata sosial, tapi soal martabat manusia yang dirampas begitu saja. Baginya, Melati dan para korban lainnya tak pernah layak diperlakukan seperti barang yang bisa disewa dan dibuang. Hati nuraninya tak berhenti mendesaknya untuk terus maju, meski mungkin ia harus berhadapan dengan risiko besar.
Berjuang di Pengadilan
Ketika kasus ini akhirnya mencapai pengadilan, suasana menegang. Para pelaku yang dihadapkan dalam persidangan berusaha sekuat tenaga membantah tuduhan dan meremehkan perjuangan Rangga. Mereka membawa pengacara hebat dan memiliki jaringan kuat yang siap menggempur setiap argumen yang Rangga ajukan.
Namun, dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkannya dengan susah payah, Rangga membangun kasus yang kokoh. Ia mengungkapkan sisi kelam dari praktik kawin kontrak, bagaimana para korban seperti Melati sering kali ditinggalkan tanpa apa-apa, bahkan dengan trauma yang membekas seumur hidup. Ia menyuarakan mereka yang tak pernah punya kesempatan bersuara.
Namun ancaman semakin nyata ketika Rangga mulai memenangkan simpati publik. Pihak-pihak yang merasa terancam mulai mencoba menggoyahkan Rangga, tak hanya dengan tekanan hukum, tapi juga dengan ancaman fisik. Beberapa kali ia mendapat peringatan lewat telepon tak dikenal, atau bahkan menemukan surat ancaman di bawah pintu rumahnya.
Cahaya di Ujung Jalan
Meski ancaman terus berdatangan, Rangga tetap maju. Baginya, menegakkan keadilan untuk para korban kawin kontrak bukan hanya soal hukum, tapi soal kemanusiaan. Baginya, ini adalah prinsip hidup yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Akhirnya, putusan pengadilan berpihak padanya. Para pelaku dihukum, dan kasus ini menjadi sorotan nasional. Kemenangan ini tak hanya membawa keadilan bagi Melati, tetapi juga membuka jalan bagi perlindungan hukum yang lebih baik bagi perempuan-perempuan yang terjebak dalam kawin kontrak.
Epilog: Titik Awal Perjuangan
Setelah kasus ini usai, Rangga menyadari satu hal, perjuangan masih jauh dari kata selesai. Masih banyak perempuan di luar sana yang membutuhkan perlindungan hukum. Kemenangan ini adalah langkah pertama, dan Rangga bertekad untuk terus mendampingi mereka yang membutuhkan suara.
Di akhir hari, ia memandang berkas-berkas yang kembali menumpuk di mejanya dengan senyuman kecil.
Keputusan untuk menjadi pembela di balik bayang adalah jalan yang tak pernah mudah, tapi ini adalah panggilannya.
Dalam hati ia bergumam, “fiat justitia ruat coelum”.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa