JAKARTA, FNEWS.ID – Fenomena ‘doom spending’ kini menjadi tren yang berkembang di kalangan milenial dan Gen-Z, mencerminkan respons emosional terhadap tekanan dan ketidakpastian dunia modern. Istilah ini menggambarkan perilaku belanja berlebihan yang dilakukan sebagai bentuk pelarian dari rasa stres dan kecemasan, terutama terkait kondisi ekonomi, politik, dan lingkungan yang memburuk.
Menurut Profesor Bruce Y. Lee dari City University of New York, dalam artikelnya di Psychology Today, doom spending seringkali muncul sebagai cara individu mencoba mengatasi tekanan yang dirasakan akibat berbagai krisis global. Isu-isu seperti ketidakstabilan politik di Amerika Serikat, perubahan iklim yang semakin intens, dan ketidakpastian ekonomi menjadi pemicu utama yang mendorong perilaku ini. Di tengah perasaan putus asa akan masa depan, banyak orang mencari kenyamanan instan dengan cara berbelanja, meskipun sadar bahwa kepuasan tersebut hanya bersifat sementara.
Doom spending berbeda dengan “retail therapy,” di mana individu membeli barang sebagai cara untuk memperbaiki suasana hati. Pada doom spending, perilaku konsumtif ini lebih didorong oleh perasaan pesimistis yang mendalam dan perasaan bahwa segala sesuatu di dunia semakin tidak terkendali. Seperti dijelaskan Profesor Lee, banyak yang merasa bahwa belanja impulsif ini adalah cara untuk mengendalikan sesuatu di tengah ketidakpastian yang terus meningkat.
Mengapa Generasi Muda Rentan?
Generasi milenial dan Gen-Z cenderung lebih rentan terhadap doom spending karena mereka lebih sadar akan isu-isu global, seperti krisis iklim, ketidakadilan sosial, serta masalah ekonomi yang semakin berat. Mereka tumbuh dalam era digital yang sarat dengan informasi tentang berbagai krisis, yang sering kali memicu rasa kecemasan dan ketidakberdayaan. Banyak dari mereka juga belum mencapai kestabilan finansial yang kuat, sehingga belanja impulsif ini dapat memperburuk kondisi keuangan mereka.
Selain itu, adanya tekanan sosial dari media, terutama media sosial, turut memperparah fenomena ini. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menampilkan gaya hidup mewah yang memberi tekanan pada kaum muda untuk terus mengikuti tren dan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Dampak Jangka Panjang
Meski doom spending mungkin memberi kepuasan sesaat, perilaku ini dapat membawa dampak negatif yang serius dalam jangka panjang. Menghabiskan uang tanpa perencanaan yang matang dapat mengakibatkan masalah keuangan yang lebih besar, seperti utang yang menumpuk atau kurangnya tabungan untuk kebutuhan mendesak di masa depan. Selain itu, secara psikologis, perilaku ini tidak menyelesaikan akar permasalahan kecemasan yang dihadapi, melainkan hanya memberikan distraksi sementara.
Para pakar keuangan dan psikologi menyarankan agar kaum muda lebih bijak dalam mengelola emosi dan keuangan mereka. Mengalihkan stres dengan cara yang lebih positif, seperti berolahraga, bermeditasi, atau mencari dukungan dari keluarga dan teman, bisa menjadi langkah yang lebih sehat. Selain itu, penting untuk meningkatkan literasi keuangan, sehingga generasi muda dapat lebih memahami dampak dari perilaku konsumtif mereka terhadap kondisi finansial jangka panjang.
Solusi dan Kesadaran Diri
Untuk mengatasi fenomena doom spending, penting bagi milenial dan Gen-Z untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental dan pengelolaan keuangan mereka. Mencari bantuan profesional dari psikolog atau terapis bisa membantu dalam memahami faktor-faktor emosional yang memicu perilaku belanja impulsif ini. Di sisi lain, literasi keuangan harus ditingkatkan agar individu lebih mampu mengontrol pengeluaran mereka, terutama di saat-saat penuh tekanan.
Dengan memahami dampak negatif dari doom spending, diharapkan generasi muda dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial dan menemukan cara yang lebih konstruktif dalam mengatasi kecemasan yang mereka rasakan.
Penulis : Tim Redaksi