FNEWS.ID – Hujan turun rintik-rintik di kota kecil itu, membasahi jalanan yang sepi. La Irvon duduk di teras rumah panggung tua, ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Pilkada tinggal sehari lagi, tapi hatinya tak bisa tenang. Ia bukan takut kalah, bukan itu. Tapi ia tahu, esok bukan sekadar pertarungan politik. Ini adalah pertarungan harga diri.
Ia menyesap kopinya, menatap ke kejauhan. Kenangan bertahun-tahun silam kembali berputar di kepalanya.
Dulu, ia hanya anak seorang buruh tani. Rumahnya di pinggir desa, di tanah yang hampir setiap tahun tergenang banjir. Setiap kali hujan deras, air masuk ke dalam rumah, dan mereka harus mengungsi ke rumah tetangga yang lebih tinggi. Sejak kecil, ia tahu bagaimana rasanya dipandang sebelah mata.
Saat remaja, ia ingin sekolah lebih tinggi, tapi orang-orang selalu menertawakannya.
“Anak buruh tani mau jadi apa? Sudah, ikut saja ke sawah!” kata mereka.
Tapi La Irvon menolak tunduk pada nasib. Ia bekerja serabutan demi biaya sekolah, kadang jadi kuli bangunan, kadang jadi buruh angkut di pasar.
Bertahun-tahun kemudian, setelah ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mulai dikenal sebagai pemuda cerdas, ia masih menghadapi cemoohan yang sama. Saat ia menyatakan niatnya maju di Pilkada, tawa sinis kembali terdengar.
“Kau pikir politik itu tempatnya orang miskin? Kau bukan siapa-siapa!”
Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apapun. Tapi La Irvon tidak membalas dengan amarah. Ia membalas dengan kerja keras. Satu per satu ia datangi warga, mengetuk pintu mereka, mendengarkan keluhan mereka. Ia bukan politisi kaya yang bisa membagi-bagikan uang, tapi ia memberikan sesuatu yang lebih berharga: harapan.
Di seberang kota, di sebuah rumah mewah, Samu Adijaya duduk di kursi empuk, menikmati anggur merah. Baginya, Pilkada ini hanya formalitas. Ia sudah merasa menang bahkan sebelum pemungutan suara.
“Anak kampung itu berpikir bisa menang melawan aku?” Ia tertawa sambil berbicara dengan tim suksesnya. “Politik ini permainan orang besar. Uang yang berbicara, bukan idealisme!”
Di malam terakhir sebelum pemungutan suara, La Irvon kembali ke rumahnya. Ayahnya menunggunya di teras, matanya penuh harapan.
“Kau sudah sejauh ini, Nak,” kata sang ayah.
La Irvon mengangguk. “Tapi esok adalah ujian terakhir, Yah. Aku tidak takut kalah, tapi aku tidak mau mereka terus merendahkan kita.”
Keesokan harinya, pemungutan suara berlangsung. Seharian La Irvon berjalan keliling, menyapa warga yang datang ke TPS. Ia melihat di mata mereka sesuatu yang tak bisa dibeli: keyakinan.
Sore hari, hasil quick count mulai keluar. Selisih suara begitu tipis. Di posko pemenangan La Irvon, suasana tegang. Semua orang menunggu dalam diam, menatap layar televisi yang menampilkan angka-angka yang terus berubah.
Lalu angka terakhir muncul. La Irvon unggul.
Sorak-sorai pecah di posko, air mata haru mengalir di wajah banyak orang. Tapi La Irvon hanya diam. Ia menatap layar itu lama, sebelum akhirnya menutup matanya dan menarik napas panjang.
Malam itu, ia kembali duduk di teras rumahnya. Ayahnya datang, duduk di sebelahnya.
“Kau menang, Nak,” kata sang ayah, suaranya bergetar.
La Irvon tersenyum tipis. “Ini bukan cuma tentang menang atau kalah, Yah. Ini tentang harga diri. Sekarang mereka tahu, kita bukan orang yang bisa diremehkan.”
Hujan berhenti. Langit kembali cerah. Tapi La Irvon tahu, perjuangan baru saja dimulai. Karena menang itu bukan akhir dari segalanya, justru ini adalah awal untuk membuktikan bahwa harga diri yang diperjuangkan tidak boleh sia-sia.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa