Mister AAS, 23 April 2025, Dalam Bus Otw Surabaya-Pasuruan
FNEWS.ID – Sore di Terminal Bungurasih, Surabaya. Bangku-bangku panjang menanti bersama para penumpang yang bersandar dalam hening, sesekali dikejutkan oleh suara klakson bus atau panggilan petugas. Di tengah lalu lintas manusia itu, muncul hasrat menulis yang datang begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, hanya sebuah dorongan dari dalam hati.
Bus yang ditunggu belum juga datang. Bus itu akan melaju ke arah timur, menuju Pasuruan, mengantar menuju ruang kelas tempat para anak muda menunggu, anak-anak bangsa yang dengan tekun berkuliah karena meyakini satu hal sederhana: mimpi itu bisa dicapai, asal diberi kesempatan dan ketekunan. Ada yang berharap kelak diterima di perusahaan impian, ada pula yang bercita-cita buka usaha sendiri – menjadi tuan atas nasibnya.
Ruang kelas itu seperti panggung kecil bagi perubahan. Di sana, setiap pertemuan adalah peluang menggoda nalar mahasiswa. Ada kegembiraan tersendiri saat menyaksikan antusiasme mereka, meski sering terhimpit oleh ketakutan yang tak terlihat: takut gagal, takut malu, takut keluar dari zona nyaman.
Padahal, justru di titik itulah—ketika berani mencoba hal baru, mempelajari keterampilan yang tak pernah disentuh, bahkan bersedia belajar dari orang yang belum pernah ditemui sebelumnya—lahir peluang menjadi lebih pintar. Menghabiskan jatah gagal dalam hidup bukan perkara sia-sia, melainkan bagian dari proses tumbuh. Sayangnya, banyak yang memilih diam di tempat, enggan melangkah karena takut rasa sakit saat terjatuh.
Menulis sore ini bukan sekadar pelampiasan, melainkan cara untuk menyusun ulang pengamatan-pengamatan itu. Tentang bagaimana semangat bisa tumbuh dari terminal yang penuh debu, tentang bagaimana keyakinan bisa lahir dari perjalanan menuju kampus kecil yang sarat harapan.
Menulis adalah ruang bernaung ketika dunia terlalu bising. Saat kata-kata mulai mengalir, pikiran menemukan arah, dan perasaan terasa lebih lapang. Bukan penting siapa yang membaca, bukan pula soal ke mana tulisan ini akan bermuara. Yang paling bermakna adalah hadirnya momen kecil yang memberi jeda—sebuah kesempatan untuk kembali menyapa diri sendiri yang sempat tersembunyi di balik rutinitas.
Mungkin inilah bentuk lain dari pulang: menepi sejenak, menulis, dan kembali mengenali arah hidup.
Penulis : Mister AAS