“Kebenaran adalah hasil dari keberanian untuk salah,” tulis Zhafrah dalam sebuah manifesto yang disebarluaskan secara diam-diam.
Di tengah gemuruh politik Republik Lazirvon, sebuah slogan mendominasi ruang publik: “Memaksa Benar.” Frasa itu muncul dari pidato perdana Presiden Rizalnov Bhaskara, seorang pemimpin baru yang menjanjikan perubahan drastis untuk mengakhiri korupsi dan ketidakadilan di negeri itu.
“Memaksa benar adalah satu-satunya jalan. Tidak ada ruang untuk setengah-setengah. Tidak ada ruang untuk kompromi,” ucap Rizalnov di hadapan ribuan rakyat yang bersorak penuh harapan.
Namun, di balik semangat yang bergelora, para pengamat politik mulai bertanya-tanya: apa sebenarnya arti memaksa benar?
Masa Depan yang Tegak Lurus
Dalam tahun pertamanya, Rizalnov mengeluarkan kebijakan radikal yang disebut sebagai Deklarasi Kebenaran Nasional. Di bawah aturan ini, semua elemen masyarakat, dari politisi hingga pedagang kaki lima diwajibkan mematuhi standar “kebenaran mutlak” yang ditentukan oleh pemerintah.
Korupsi diberantas habis-habisan. Tak peduli status atau pangkat, siapa pun yang terbukti bersalah langsung diadili di pengadilan kilat. Indeks Kebenaran Publik (IKP), sebuah sistem baru berbasis kecerdasan buatan, diluncurkan untuk memantau perilaku setiap warga negara. Jika skor IKP seseorang terlalu rendah, mereka akan kehilangan hak-hak dasar, seperti akses ke pekerjaan atau layanan kesehatan.
Pada awalnya, rakyat menyambut langkah ini dengan antusias. Statistik menunjukkan penurunan signifikan pada kasus korupsi dan kejahatan. Namun, semakin lama, semakin banyak orang yang merasa bahwa kebenaran yang dipaksakan ini berubah menjadi alat penindasan.
Kebenaran yang Tak Tergoyahkan
Di parlemen, fraksi oposisi mencoba menentang kebijakan ini. Salah satu tokoh terkemuka, Shahzad Nasyak, berpidato dengan lantang tentang kebenaran.
“Kebenaran tidak bisa dipaksakan oleh satu pihak! Kebenaran adalah hasil dari dialog, bukan diktator yang mendikte!”
Namun, Rizalnov tidak bergeming. Melalui badan khusus yang disebut Komite Kebenaran Absolut (KKA), ia memastikan bahwa setiap kritik terhadap kebijakannya dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan negara. Shahzad pun ditangkap dengan tuduhan “merongrong semangat nasional.”
Semakin hari, rakyat mulai menyadari bahwa frasa “memaksa benar” lebih sering digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat daripada mencari solusi bersama.
Perlawanan dari Dalam
Di tengah kegelapan, muncul gerakan bawah tanah yang menamakan diri mereka “Kaum Merdeka.” Dipimpin oleh seorang mantan teknokrat pemerintah bernama Zhafrah, mereka berusaha membuka mata rakyat bahwa kebenaran tidak bisa didefinisikan oleh satu orang atau satu sistem.
“Kebenaran adalah hasil dari keberanian untuk salah,” tulis Zhafrah dalam sebuah manifesto yang disebarluaskan secara diam-diam.
Perlawanan ini semakin kuat ketika terungkap bahwa skor IKP sering dimanipulasi oleh pemerintah untuk mengeliminasi lawan politik. Rakyat mulai bertanya: jika kebenaran bisa dimanipulasi, bukankah itu berarti kebenaran sejati telah mati?
Keputusan Terakhir
Di akhir masa jabatannya, Rizalnov menghadapi gelombang demonstrasi terbesar dalam sejarah Republik Lazirvon. Ratusan ribu orang turun ke jalan, meneriakkan, “Kebenaran tak bisa dipaksa!”
Pada hari itu, Rizalnov muncul di balkon istana, wajahnya yang biasanya tegas terlihat rapuh.
“Aku ingin negeri ini berjalan di jalan yang benar,” katanya dengan suara gemetar.
“Tapi mungkin aku salah dalam caraku,” lanjutnya.
Namun, pengakuan itu datang terlambat. Kebijakan “Memaksa Benar” telah meninggalkan luka mendalam di masyarakat. Kebenaran yang dipaksakan hanya menciptakan rasa takut dan ketidakpercayaan, bukan keadilan yang dijanjikan.
Ketika Rizalnov mengundurkan diri, rakyat menyadari bahwa kebenaran tidak akan pernah bisa dipaksakan. Itu harus ditemukan bersama, melalui dialog, kompromi, dan keberanian untuk mengakui kesalahan.
(Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata)
Penulis : Novrizal R Topa